4-1 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kondisi Aerosol di Daerah Kajian Persebaran aerosol ukuran diameter 2.5 dan 10 mikrometer secara spasial digambarkan melalui plot gambar 4.1 dan 4.2. Gambar tersebut dihasilkan dari hasil running model menggunakan WRF-Chem dengan inisiasi wrfcheminput yang sudah diolah sebelumnya menjadi 2 kali lipat (ON2x) dan 3 kali lipat (ON3x). Data diolah dengan mengalikan 2 kali dan 3 kali dari jumlah emisi total per variabel kimia yang dipakai. Setelah di-running menggunakan WRF-Chem didapat persebaran aerosol untuk tanggal 1 Januari 2018 00 UTC hingga 5 Januari 2018 00 UTC. Persebaran aerosol yang bertepatan dengan kejadian pertumbuhan awan dan terjadinya hujan menunjukkan kecocokan lokasi dan waktu pada 3 Januari 2018. Pada plot tersebut terlihat bahwa persebaran aerosol tersebar di lautan dan daratan. Di daratan, persebaran aerosol berpusat di 7 o LS – 6 o LS dan 107 o BT – 108.6 o BT serta adapula di daerah 8.3 o LS – 7.03 o LS. Sedangkan di lautan persebaran aerosol sangat tinggi untuk tanggal 3 dan persebaranya berada di lintang di atas 5.7 o LS dan 108.6 o BT – 109.1 o BT. Pada hasil model ini, persebaran aerosol sudah cukup sesuai dengan data dari Air Quality bahwa polusi di daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah cukup tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Dari hasil ini akan dianalisis lebih lanjut mengenai pengaruh aerosol terhadap pertumbuhan awan dan presipitasi khususnya di waktu dan tempat saat terbentuknya awan dan hujan di daerah kajian. 4-2 Gambar 4.1 Persebaran PM2.5 di Pulau Jawa dari hasil running model WRF- Chem yang telah diolah data emisi total inisiasinya menjadi 1 kali lipat (ON1x), 2 kali lipat (ON2x), dan 3 kali lipat (ON3x). Gambar 4.2 Persebaran PM10 di Pulau Jawa dari hasil running model WRF- Chem yang telah diolah data emisi total inisiasinya menjadi 1 kali lipat (ON1x), 2 kali lipat (ON2x), dan 3 kali lipat (ON3x). 4-3 4.2 Analisis Pengaruh Penambahan K onsentrasi Aerosol terhadap Pertumbuhan Awan Pada Gambar 4.3 yaitu pada saat kejadian terjadinya awan yang bertepatan dengan adanya aerosol yakni pada tanggal 3 Januari 2018, digambarkan plot selisih fraksi awan rendah dari skema emisi saat ON 1 kali lipat, 2 kali lipat, dan 3 kali lipat konsentrasi aerosol, lalu kemudian masing-masing nilai fraksi awannya dikurangi dengan nilai fraksi awan rendah saat kondisi emisi OFF. Fraksi awan menunjukkan bahwa di dalam suatu grid terdapat fraksi awan maka grid tersebut memiliki tutupan awan. Lingkaran berwarna hitam menandakan bahwa area tersebut merupakan area yang memiliki aerosol antropogenik seperti yang dijelaskan pada subbab 4.1. Area yang dilingkari oleh lingkaran berwarna hitam menandakan nilai perbedaan fraksi awan saat kondisi ON dan OFF cenderung positif yakni fraksi awan saat kondisi emisi ON lebih besar dibandingkan dengan saat kondisi OFF. Sedangkan area yang tidak ditandai oleh lingkaran hitam di sebelah kanannya menunjukkan warna putih yang artinya nilai fraksi awannya berkurang di daerah yang tidak terkena aerosol. Penambahan aerosol pada simulasi membuktikan bahwa pada tanggal 3 Januari tutupan awan dapat meningkat dengan bertambahnya aerosol, namun karena penambahan aerosol dapat meningkatkan terbentuknya awan di daerah yang berpolusi, uap air yang harusnya terbentuk di daerah sekitarnya menjadi berkurang karena awan menjadi lebih cepat terbentuk di daerah yang berpolusi di sekitarnya. Penambahan aerosol membantu untuk proses pembentukan inti awan sebanyak 0.2 hingga 0.7 dari simulasi yang menggunakan simulasi aerosol OFF sehingga daerah yang berpolusi menjadi lebih cepat menghasilkan awan daripada simulasi yang tidak mengaktifkan aerosol (OFF). Namun, pada hasil simulasi, selisih dari skema ON terhadap OFF tidak memiliki perbedaan yang jelas antara skema dari aerosol yang konsentrasinya dibiarkan menjadi 1 kali lipat dan saat 3 kali lipat. Sedikit perbedaan terlihat saat konsentrasi aerosol ditingkatkan menjadi 2 kali lipat, yakni menurunnya dampak peningkatan fraksi awan dari penambahan aerosol terhadap 4-4 simulasi. Selain itu, proses ini dapat menghambat terbentuknya awan di sekitar area yang berpolusi karena uap air di daerah sekitarnya telah digunakan untuk membantu proses pembentukan awan karena adanya polusi. Penjelasan mengenai analisis proses pembentukan awan akan dibahas lebih lanjut di subbab 4.4. Gambar 4.3 Persebaran spasial selisih fraksi awan rendah pada 3 Januari 2018 jam 12 UTC dengan area yang terkena aerosol ditandai oleh lingkaran berwarna hitam. 4.3 Analisis Pengaruh Penambahan K onsentrasi Aerosol terhadap Presipitasi Pengaruh penambaan aerosol pada simulasi dibahas dengan menganalisa presipitasi yang dihasilkan secara time series seperti pada Gambar 4.4,4.5, dan 4.6. Lokasi yang digunakan pada titik tersebut merupakan rata-rata dari domain area kejadian yang terdapat aerosol, awan, sekaligus hujan saat waktu penelitian seperti yang telah digambarkan dari Gambar 4.3. 4-5 Gambar 4.4 Domain area dimana terdapat aerosol, awan, dan hujan sekaligus pada tanggal 3 Januari 2018. Gambar 4.4 menggambarkan kejadian hujan yang terjadi antara tanggal 1 Januari 00 UTC – 5 Januari 00 UTC. Berdasarkan persebaran data aerosol yang sudah ditampilkan di subbab 4.1, maka penelitian difokuskan pada kejadian hujan yang terjadi pada tanggal 3 Januari saja. Dari kejadian hujan tersebut, terjadi pengaruh fluktuatif dari peningkatan aerosol terhadap kejadian hujan di daerah kejadian. Kenaikan dan penurunan curah hujan yang dilakukan pada simulasi dianalisis dengan mencari selisih antara curah hujan dari skema aerosol ON 1x, 2x, dan 3x terhadap skema aerosol OFF seperti yang digambarkan pada gambar 4.5. 4-6 Gambar 4.5 Rata-rata domain presipitasi time series dari hasil running model WRF-Chem skema aerosol ON1x (garis biru), aerosol ON2x (garis jingga), aerosol ON3x (garis hijau), dan aerosol OFF (garis merah), dengan kotak merah yang menandakan bahwa kejadian hujan tersebut dipengaruhi oleh adanya polusi yang melewati daerah kajian. Pada plot selisih time series curah hujan di atas (Gambar 4.4) terdapat perbedaan yang dapat diamati dari keadaan saat berpolusi yaitu saat skema aerosol ON dan saat tidak berpolusi yaitu saat OFF. Simulasi yang menggunakan penambahan aerosol dapat menghasilkan kejadian hujan yang mirip dengan kondisi saat tidak berpolusi seperti yang digambarkan dari grafik time series presipitasi pada Gambar 4.4. Pengaruh dari penambahan aerosol dilihat dengan cara mencari selisih presipitasi tiap waktu seperti yang digambarkan pada Gambar 4.5. Nilai positif menandakan bahwa presipitasi saat kondisi emisi ON lebih tinggi daripada saat kondisi emisi OFF sedangkan nilai negatif menandakan bahwa presipitasi saat kondisi emisi ON 4-7 lebih rendah daripada saat kondisi emisi OFF. Pada grafik di bawah, terdapat kejadian hujan yang dapat diamati (kotak merah). Gambar 4.6 Rata-rata selisih dari presipitasi kondisi aerosol ON dikurangi dengan presipitasi kondisi aerosol OFF time series dengan kotak merah yang menandakan bahwa kejadian hujan tersebut dipengaruhi oleh adanya polusi yang melewati daerah kajian. Dari kejadian hujan tersebut didapat bahwa secara time series, pengaruh skema aerosol ON pada presipitasi adalah meningkatkan presipitasi pada awal waktu kejadian hujan, namun setelah pukul 12 UTC, presipitasi yang dihasilkan dari simulasi yang berpolusi menjadi berkurang. Simulasi yang menggunakan aerosol yakni pada simulasi ON1x, ON2x, dan ON3x mempengaruhi waktu terjadinya hujan seperti yang digambarkan dari Gambar 4.5 dan 4.6. Penambahan aerosol mempercepat terjadinya proses pembentukan awan sehingga simulasi yang berpolusi ini menghasilkan presipitasi lebih cepat daripada simulasi yang tidak menggunakan aerosol. Penambahan aerosol juga dapat meningkatkan presipitasi dari simulasi yang diakibatkan karena fraksi awan yang dihasilkan oleh simulasi ON lebih tinggi seperti yang sudah dibahas pada subbab sebelumnya. 4-8 Pengaruh penambahan aerosol dari ditingkatkan 1 kali, 2 kali, hingga 3 kali lipat terhadap presipitasi menunjukkan perbedaan dengan dampak yang paling tinggi dihasilkan oleh simulasi yang menggunakan aerosol yang sudah ditingkatkan menjadi 3 kali lipat, namun dampak penambahan aerosol dari simulasi ON1x dan ON2x belum menggambarkan perbedaan yang signifikan meskipun dengan penambahan kedua simulasi ini dapat mempengaruhi peningkatan presipitasi. Pada simulasi model WRF, presipitasi dapat dihasilkan dari skema mikrofisis dan skema kumulus. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai proses manakah yang sebenarnya mempengaruhi peningkatan presipitasi jika ditambahkan aerosol, maka digambarkan selisih dari skema presipitasi yang dihasilkan oleh skema kumulus dan mikrofisis melalui Gambar 4.7 dan 4.8. Pada kedua gambar tersebut, terlihat bahwa grafik yang dihasilkan oleh skema kumulus tidak menghasilkan pola yang stabil baik saat kondisi ON1x, ON2x, dan ON3x. Grafik yang seperti ini tidak menggambarkan adanya pengaruh yang signifikan sehingga dapat dikatakan bahwa penambahan aerosol pada simulasi tidak mempengaruhi presipitasi yang dihasilkan oleh skema kumulus. Namun, grafik presipitasi yang dihasilkan oleh skema mikrofisis seperti yang digambarkan oleh Gambar 4.8, menunjukkan adanya pola peningkatan nilai presipitasi dengan penambahan konsentrasi aerosol. Penambahan aerosol pada simulasi ini mengakibatkan peningkatan presipitasi skema mikrofisis hingga 0.6 mm pada skema ON1x, mencapai 1.1 mm pada skema ON2x, dan mencapai puncak perbedaan tertinggi yaitu 2.6 mm saat konsentrasi aerosol ditingkatkan menjadi 3 kali lipat (ON3x). 4-9 Gambar 4.7 Rata-rata selisih dari presipitasi skema kumulus kondisi aerosol ON dikurangi dengan presipitasi kondisi aerosol OFF time series dengan kotak merah yang menandakan bahwa kejadian hujan tersebut dipengaruhi oleh adanya polusi yang melewati daerah kajian.