10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sistem transportasi menurut Cascetta (2009) tidak hanya terdiri dari elemen-elemen fisik yang menghasilkan supply transportasi, tapi juga memicu adanya permintaan untuk melakukan perjalanan dari suatu titik ke titik lainnya. Adanya pergerakan ini dan didukung dengan adanya kemajuan teknologi di segala sisi membuat dunia, termasuk transportasi bergerak semakin cepat. Perpindahan orang atau barang dari suatu titik ke titik lainnya semakin mudah dilakukan. Namun permasalahan transportasi yang dihadapi masih tetap sama dari waktu ke waktu yaitu kemacetan, polusi, kecelakaan dan inklusivitas (Ortuzar & Willumsen, 2011). Saat ini, para peneliti mampu memberikan yang lebih meyakinkan melalui berbagai model untuk memecahkan permasalahan-permasalahan diatas (Ortuzar & Willumsen, 2011). Berbagai pendekatan mulai dicoba untuk mengurai dan memecahkan masalah mulai dari yang bersifat agregat ataupun individual, model matematis ataupun yang bersifat psikologis. Berbagai pendekatan ini terus berevolusi dari waktu ke waktu dan saling melengkapi untuk menghasilkan suatu sistem yang mampu menjawab tantangan zaman yang kian cepat berubah, sehingga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kualitas lingkungan. Satu diantara beberapa pendekatan yang telah digunakan sejak lama, dan terus diaplikasikan hingga saat ini adalah pendekatan matematis. Model matematis digunakan sebagai model yang mencerminkan sistem di dunia nyata karena model matematis merupakan bahasa yang jauh lebih tepat dibanding bahasa verbal dan mampu menjelaskan secara lebih akurat (Black, 1981). Model matematis seperti ini mampu menyatakan hubungan antara guna lahan (sistem aktivitas), prasarana transportasi (sistem jaringan) dan sistem arus lalu-lintas (sistem pergerakan) (Tamin, 2000). Konsep supply dan demand dalam transportasi akan lebih mudah tergambar dengan model-model ini. Model matematis juga mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Saat jumlah pergerakan semakin meningkat jauh dibanding abad sebelumnya, model harus mampu menjelaskan kondisi nyata secara lebih spesifik. Pergerakan manusia harian dengan berbagai tujuan dan pergerakan barang yang juga terus terjadi mulai dipisahkan walaupun terjadi dalam suatu sistem yang sama. Karena keduanya 11 masih erat berkaitan, model yang akurat harus mampu menggambarkan kondisi nyata melalui angka dan simbol-simbol yang ada. Proses pengambilan keputusan dalam sistem transportasi sangat bergantung pada model yang dihasilkan. Model akan memberikan perspektif dan cakupan permasalahan sehingga menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Perilaku perjalanan juga akan memberikan pengaruh pada model yang telah dibangun. Oleh karena itu perlu adanya interaksi dari beragam aspek untuk menyusun sebuah model akurat yang dianggap mampu mewakili kondisi faktual di lapangan. II.1 Sistem Transportasi Dalam konteks perencanaan, pendekatan secara sistem adalah hal yang lazim digunakan dalam rangka mendapatkan gambaran holistik mengenai suatu permasalahan. Pendekatan transportasi sebagai suatu system yaitu memahami bahwa didalamnya terdiri dari banyak elemen yang saling terkait satu sama lain dan saling mempengaruhi. Suatu sistem transportasi menurut Manheim (1979) dapat digambarkan sebagai berikut : Sumber : Manheim (1979) Gambar II.1 Sistem Transportasi Total Manheim (1979) merumuskan suatu konsep sederhana yang mudah dipahami dan mampu menjelaskan transportasi sebagai suatu sistem. Gambar II.1 menjelaskan 3 (tiga) hal, pertama pola pergerakan atau kondisi lalu-lintas yang terjadi ditentukan oleh sistem jaringan dan sistem aktivitas yang ada. Kedua, dari waktu ke waktu pola 12 pergerakan yang terjadi akan mempengaruhi sistem aktivitas atau kondisi pola ruang di suatu wilayah. Kemunculan pusat – pusat aktivitas baru sebagai konsekwensi dari pengaruh pola pergerakan yang ada. Ketiga, pola pergerakan juga akan mempengaruhi kondisi jaringan transportasi. Pergerakan yang meningkat dari waktu ke waktu pada ruas – ruas jalan tertentu akan menambah volume kendaraan dan mengurangi kapasitas yang ada. Konsep tersebut dianggap mampu menjelaskan hubungan ketiga variabel di atas dalam membentuk sistem transportasi. Namun pola hubungan antara sistem jaringan dan sistem aktivitas belum dapat dijelaskan secara langsung. Cascetta (2009) mencoba menjelaskan secara lebih detil, dimana keterkaitan diantara ketiga elemen tersebut berjalan dengan sangat dinamis. Konsepsi pemikiran tersebut dapat dilihat pada gambar II.2. (Sumber: Cascetta, 2009) Gambar II.2 Hubungan Sistem Transportasi dan Sistem Aktivitas Konsep sistem transportasi diatas terlihat rumit dengan memasukan banyak elemen termasuk komponen sistem ekonomi dan sistem sosial. Hampir mustahil untuk mengidentifikasi dan menganalisis seluruh keterkaitan antar komponen secara seimbang. Pendekatan umum yang dapat digunakan dalam menganalisis keterkaitan antar elemennya adalah dengan menyatukan elemen-elemen yang 13 penting dan berkaitan erat dalam beberapa kelompok dan mengidentifikasi keterkaitan antar kelompok yang ada (Cascetta, 2009). Beberapa penjelasan diatas menempatkan transportasi sebagai suatu sistem, tapi penting untuk dipahami juga bahwa transportasi merupakan bagian dari sistem yang lebih besar. Pada mulanya aspek-aspek seperti sosial, ekonomi, politik dan lainnya dikelompokan ke dalam sistem aktivitas (Manheim, 1979). Seiring berjalannya waktu, muncul pemahaman bahwa beberapa elemen yang dimasukan ke dalam sistem aktivitas juga dapat mempengaruhi sistem transportasi sebagai elemen eksternal. Sistem kelembagaan seperti peraturan perundangan, sistem keuangan dan sistem pemerintahan mampu mempengaruhi sistem transportasi sebagai elemen eksternal (Tamin, 2000). II.2 Konsep Perencanaan Transportasi Dewasa ini banyak berkembang beberapa konsep perencanaan transportasi. Model Transportasi Empat Tahap merupakan salah satu yang paling dikenal. Model perencanaan ini merupakan gabungan dari beberapa submodel yang masing-masing harus dilakukan secara terpisah dan berurutan. Submodel tersebut menurut (Tamin. 2000): 1. Model Bangkitan Pergerakan Mengaitkan parameter tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang meninggalkan suatu zona menjadi tujuan dasar model ini. Pergerakan lalulintas merupakan fungsi tata guna lahan yang akhirnya akan menghasilkan pergerakan lalulintas. Bangkitan ini mencakupi lalulintas yang meninggalkan lokasi dan lalu lintas yang menuju atau tiba ke suatu lokasi. 2. Model Sebaran Pergerakan Merupakan permodelan terhadap pola pergerakan antar zona. Model ini dipengaruhi oleh tingkat aksesibilitas sistem jaringan antar zona dan tingkat bangkitan dan tarikan setiap zona. Pola sebaran arus lalulintas antara zona yang satu dengan zona yang lain (zona asal – zona tujuan), merupakan hasil yang terjadi secara bersamaan yaitu lokasi dan intensitas tata guna lahan (keduanya akan menghasilkan arus lalulintas), dan pemisahan ruang, interaksi antara dua buah tata guna lahan yang akan menghasilkan pergerakan manusia maupun barang 14 3.