Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Communications-Based Train Control (CBTC) Sistem persinyalan kereta konvensional menggunakan track circuit untuk mendeteksi keberadaan kereta. Informasi status trek dan blok didepan kereta ditampilkan pada panel monitor operator dan sinyal lapangan maupun sinyal pada kabin kereta (jika terdapat perangkat sinyal dipasang di kabin). Operator harus dapat memastikan aspek sinyal kereta menyala sesuai prosedur warna dan sesuai kondisi lapangan. Sistem konvensional terbukti efektif dalam hal proteksi kereta, tetapi tidak efisien dalam hal maksimalisasi utilisasi infrastruktur kereta dengan banyak keterbatasan seperti: a. Lokasi kereta tergantung pada resolusi dari track circuit. b. Informasi yang diberikan pada kereta terbatas pada beberapa aspek sinyal yang terdapat di lapangan. Menurut standard Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE) yang disusun oleh Schifers dkk. (2000), CBTC diartikan sebagai sistem kontrol otomatis kereta yang bekerja secara kontinyu dalam menentukan lokasi kereta dengan resolusi tinggi, memiliki trek sirkit yang bersifat independen, kemampuan data komunikasi dari perangkan persinyalan menuju kereta berkapasitas besar dan kontinyu, serta dilengkapi prosesor kereta dan perangkat persinyalan lapangan yang memiliki kapasitas implementasi fungsi vital. Sistem CBTC memberi kelebihan pada batasan sistem konvensional dan lebih efektif dalam hal utilisasi transit infrastruktur. Contohnya, kereta dapat beroperasi secara aman dengan headway yang lebih singkat, fleksiblitas dan kontrol kereta lebih presisi, perjalanan kereta dipantau secara kontinyu dengan jaminan proteksi kecepatan. Lokasi kereta pada system CBTC memiliki presisi yang lebih baik dan dibantu oleh subsistem terdiri dari Automated Train Protection (ATP), Automated Train Operation (ATO) dan Automated Train System (ATS). Peran ATP bisa dikatakan paling fundamental dalam sistem CBTC. Lokasi kereta dan batasan kecepatan kereta diatur oleh ATP. Profil pengereman juga diatur oleh ATP mencakup ketidakpastian lokasi kereta, panjang kereta, batasan kecepatan, maksimum galat pengukuran kecepatan, latensi, pengereman darurat, grade, akselerasi kereta maksimum, deteksi rollback, proteksi ujung trek, deteksi kecepatan nol, interloking pintu kereta, hingga interloking. ATO pada sistem CBTC harus memiliki kapasitas sebagai regulasi kecepatan, kontrol pada berthing platform dan kontrol interloking pintu. ATO digunakan seolah menggantikan peran masinis pada sistem kereta konvensional. Pada kondisi normal, ATO akan menjalankan kereta secara otomatis sesuai jadwal dan movement authority yang diberikan. Namun pada kondisi darurat dimana syarat ATO tidak terpenuhi, maka masinis akan menggantikan fungsi ATO seperti pada sistem konvensional. Dalam kondisi kereta berjalan, ATP masih tetap berperan memberikan regulasi batas kecepatan pada masinis dan pengereman otomatis bila terjadi pelanggaran batas kecepatan. Regulasi headway dan penjadwalan pada kereta dengan sistem CBTC dapat diartikan mengatur variasi waktu tunggu dan atau mengontrol waktu perjalanan kereta antar stasiun dengan mengatur akselerasi kereta, pengereman dan kecepatan kereta. Sistem ATS harus memiliki kapasitas tracking otomatis, perekaman dan tampilan pada user interfaces ATS, identitas kereta, penjadwalan, dan data lainnya yang dibutuhkan kereta yang bekerja pada area CBTC. ATS juga haus memiliki kemampuan memberikan izin operasi kereta pada area CBTC secara manual maupun otomatis berdasarkan lokasi kereta dan sesuai dengan aturan interloking rute. Pada kereta yang sedang berjalan di area CBTC, ATS memberi kontrol dan Movement Authority pada kereta. II.2 Grafik Perjalanan Kereta Jadwal keberangkatan kereta api di setiap stasiun di plot dalam bentuk diagram Grafik Perjalanan Kereta (GAPEKA). Waktu keberangkatan dan ketibaan dituliskan pada sumbu horizontal sedangkan stasiun keberangkatan dan tujuan dituliskan pada sumbu vertikal. Garis miring menggambarkan waktu perjalanan yang dibutuhkan kereta sampai stasiun tujuan, dapat diartikan sebagai kecepatan rata-rata kereta dimana jika semakin besar slope garis miring tersebut maka semakin besar nilai kecepatan kereta. Garis mendatar menandakan waktu tunggu di stasiun. Gambar I.1 Ilustrasi Grafik Perjalanan Kereta. II.3 Waktu Tunggu Model yang digunakan penulis untuk penentuan nilai waktu tunggu berdasarkan data jumlah naik turun penumpang adalah model Douglas (2012). Model tersebut menyatakan waktu 25-35 detik dibutuhkan untuk naik atau turun penumpang dari kereta sebanyak 60 orang. Waktu 40 detik dibutuhkan untuk 30 orang naik dan 30 orang turun. Estimasi waktu bertambah 9 detik jika selama naik turun penumpang masih ada 20 orang berdiri didalam kereta. Penumpang yang membawa koper dan menaiki kursi roda akan menambah waktu tunggu, namun tidak bisa dipastikan seberapa besar efeknya terhadap perubahan waktu tunggu. Persamaan model waktu tunggu oleh Douglas (2012) adalah sebagai berikut: DT=10 + 1,9A y a,l + 1,4B y a,l + 0,007(A y+B y)(Std y)+0,005(A y ×B y) (II.1) dengan: : waktu tunggu ) y : jumlah penumpang naik per pintu O y : jumlah penumpang turun per pintu hw, y : estimasi jumlah penumpang berdiri per pintu Persamaan tersebut menjadi acuan nilai minimal waktu tunggu yang dipakai pada penelitian ini berdasarkan data jumlah penumpang APMS. Gambar I.2 Ilustrasi definisi waktu tunggu oleh Douglas (2012). II.4 Aljabar Max-Plus Penjadwalan kereta merupakan kejadian diskrit yang dapat dimodelkan menggunakan Aljabar Max-Plus. Tujuan penggunaan Aljabar Max-Plus pada penjadwalan kereta adalah mendapatkan GAPEKA yang efisien dengan waktu keberangkatan yang bersifat regular dan fleksibel dalam mengatasi keterlambatan. Aljabar Max-Plus dapat menkonversi masalah nonlinear dalam menemukan GAPEKA yang efisien menjadi bentuk masalah linear. Pada konteks kereta api, eigenvalue dan eigenvector adalah konsep penting karena bila kita set kondisi awal sistem ke eigenvector, evolusi dari urutannya akan teratur atau regular (Della Santa, 2014). Secara dasar, Aljabar Max-Plus tidak berbeda jauh dengan Aljabar Linear konvensional. Perbedaan besarnya ada pada operasi perkalian dan penjumlahan yang diganti dengan maksimalisasi ⨁ dan mutiplikasi ⨂ sebagai berikut: M ⨁ E=max(M,E) dan M ⨂ E=M+E (II.2) Operasi penjumlahan matriks Aljabar Max-Plus adalah sebagai berikut: [) ⨁ O] =M ⨁ E =max (M ,E ) (II.3) dengan: ) ⨁ O= P M M E E R⨁z E E E E J = z M ⨁E M ⨁E M ⨁E M ⨁E J = z max(M ,E ) max(M ,E ) max(M ,E ) max (M ,E ) J = max (M ,E ) Operasi perkalian matriks Aljabar Max-Plus adalah sebagai: [) ⨂ O] = ⨁ GKN W M ⨂ E =max (M +E ) (II.4) untuk semua i dan j: [) ⨂ O]= P M M M M R⨂z E E E E J = z (M ⨂E )⨁(M ⨂E ) (M ⨂E )⨁(M ⨂E ) (M ⨂E )⨁(M ⨂E ) (M ⨂E )⨁(M ⨂E ) J = z max(M +E ,M +E ) max(M +E , M +E ) max(M +E ,M +E ) max(M +E , M +E ) J = max -M ,E 1 II.5 Sistem Max-Plus Linear Syarat suatu sistem kejadian diskrit adalah sistem sinkronisasi dan bekerja secara berurutan. Representasi persamaan ruang keadaan Sistem Max-Plus Linear adalah sebagai berikut: 5(3)=)⨂5(3−1)⨁O⨂4(3),5(0)=5 a (II.5) 9(3)=x⨂5(3) (II.6) dengan k adalah event counter, )∈ℝ 7 W8W adalah matriks keadaan, O∈ℝ 7 W8Q adalah matriks masukan, dan x∈ℝ 7 U8W adalah matriks keluaran. Sedangkan 5(3)∈ℝ 7 W , 4(3)∈ℝ ԑ Q ,9(3)∈ℝ ԑ W merupakan representasi dari vektor keadaan, masukan dan keluaran dengan ℝ 7≝ℝ∪{−∞}. Matriks keadaan 5(3) dan matriks keluaran 9(3) ditentukan oleh kondisi awal 5 a dan vector masukannya. Vektor keadaan 5=(5 N,…,5 W) adalah keadaan pada kejadian 1,…, pada waktu diskrit sehingga vektor keadaan 5 (3) adalah vektor saat kejadian ke- 3, sehingga 5 T(3) adalah vektor keadaan- saat kejadian ke-3. Sistem Max-Plus Linear homogen ialah sistem yang tidak memiliki masukan sehingga O=. Karenanya persamaan II.5 menjadi, 5(3)=)⨂5(3−1),5(0)=5 a (II.7) dengan mensubtitusi nilai 3=1, didapat 5(1)=)⨂5(0). Lalu dengan subtitusi nilai k=2, didapat 5(2)=)⨂5(1)=)⨂) ⨂5(3−1)=) D ⨂5 a. Dari bentuk persamaan tersebut, maka persamaan umumnya menjadi, 5(3)=) ⨂ ⨂5 a (II.8) Keberangkatan kereta diatur GAPEKA dengan mempertimbangkan kepadatan lalu lintas kereta pada wilayah tertentu.