Bab I Pendahuluan Latar Belakang Transportasi kereta merupakan mode transportasi yang dapat membantu mengurangi kepadatan trafik lalu lintas perkotaan dan memiliki efisiensi, reliability dan kapasitas angkut yang besar (Y. Wang, 2015). Teknologi Communication- Based Train Control (CBTC) menjadi tren sistem kereta saat ini yang memanfaatkan Automatic Train Control dengan penggunaan Moving Block yang mampu meningkatkan frekuensi keberangkatan dan kedatangan kereta (Alotta, 2013). Sistem kereta CBTC mulai digunakan di Indonesia pada projek Automated People Mover Systems Soekarno Hatta International Airtport (APMS SHIA), dilanjutkan Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta dan Light Rapid Transit (LRT) Jabodebek yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan. CBTC memiliki subsistem Automatic Train Supervisory (ATS) yang memungkinkan pengaturan jadwal keberangkatan kereta dapat dilakukan secara otomatis. Hal ini juga memungkinkan rekayasa dalam hal penjadwalan salah satunya dengan sistem penjadwalan yang dapat beradaptasi akibat adanya keterlambatan. Keterlambatan jadwal keberangkatan kereta akibat suatu gangguan dapat berdampak langsung pada ketidaknyamanan penumpang. Meskipun kompensasi diberikan oleh pihak perusahaan kereta kepada penumpang, jadwal kegiatan pribadi setiap penumpang sudah pasti terganggu. Keterlambatan tersebut jika tidak disertai penambahan kecepatan kereta maupun pengurangan waktu tunggu pada siklus selanjutnya akan mengakibatkan penumpukan jumlah penumpang kereta di beberapa stasiun. Dampak keterlambatan akan lebih terasa jika jarak antar stasiun relatif pendek. Penyedia jasa kereta tentu akan mengalami citra buruk dan penumpang tidak lagi percaya dengan jadwal kereta yang sudah tidak lagi efisien. Pada jalur kereta yang memiliki jarak antar stasiun yang cukup berdekatan, keterlambatan pada satu stasiun berdampak pada keterlambatan di stasiun berikutnya atau bisa disebut sebagai propagasi waktu tunda. Umumnya keterlambatan ini terjadi karena naik turunnya penumpang di jam-jam sibuk yang pada stasiun tertentu. Jumlah penumpang bervariasi setiap waktu sehingga data jumlah naik turun penumpang memiliki nilai ketidakpastian. Bila tidak ditangani, maka ketidakpastian akan menghasilkan solusi perbaikan jadwal keterlambatan kereta menjadi tidak optimal. Masalah ini perlu ditanggulangi dengan memberi kontrol pada ATS yang berfungsi mengatur Grafik Perjealanan Kereta Api (GAPEKA). Karenanya, perlu adanya kontrol yang dapat mengurangi dampak keterlambatan kereta tersebut sehingga pada suatu siklus, jadwal keberangkatan kereta dapat kembali ke kondisi normal. Selain itu, ketidakpastian pada data jumlah penumpang yang dapat mempengaruhi waktu keterlambatan perlu ditangani dan dikontrol sehingga solusi penjadwalan ulang menjadi optimal dan robas. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak keterlambatan kereta adalah menggunakan metode Aljabar Max-Plus dan Kontrol Model Prediksi, (De Schutter, 2002). Aljabar Max-Plus dapat menjadi solusi pembentukan penjadwalan kereta secara regular dan memenuhi setiap kendala dan syarat operasi jaringan perkerataapian (Della Santa, 2014). Keuntungan dari Kontrol Model Prediksi adalah memiliki yang dapat menangani perubahan parameter sistem dengan mengunakan pendekatan pergerakan horison sehingga model dan strategi kontrol secara kontinyu akan terbaharui. Kontrol Model Prediksi konvensional menggunakan model diskrit dimana optimasi dilakukan menggunakan model prediksi yang dapat memprediksi perilaku sistem di masa depan untuk kondisi state saat ini maupun prediksi input signal selanjutnya. Model keterlambatan pada jaringan kereta dapat dimodelkan sebagai sistem linear menggunakan Aljabar Max-Plus oleh De Schutter (2002) dan Goverde (2010), dengan kendala seperti penyusulan, persilangan, jarak antar kereta, kecepatan maksimum yang diizinkan pada satu jalur dapat disertakan dalam pemodelan kereta tersebut (Chiang, 1998). Salah satu solusi minimalisasi perambatan keterlambatan tersebut adalah dengan meningkatkan kecepatan kereta api sesuai penelitian yang pernah dilakukan De Schutter (2008), dan mahasiswa magister Institut Teknologi Bandung (ITB), Gunoto (2010). Beberapa solusi meminimalisasi keterlambatan keberangkatan kereta dengan optimasi kapasitas jalur atau variasi jumah penumpang dengan mengatur jarak antar kereta telah dilakukan Castillo (2010). Model Aljabar Max-Plus dan Kontrol Model Prediksi juga dapat menjadi solusi dengan cara memutus koneksi kereta lanjutan (De Schutter, 2008). Kapasitas jalur kereta api dengan mempertimbangkan variasi penumpang juga dapat dioptimasi seperti yang telah dilakukan oleh Castillo (2011). Ketidakpastian data perlu ditangani untuk mendapatkan kondisi optimal robas. Salah satu contoh penerapan optimasi kontrol untuk mendapatkan profil kecepatan yang optimal mengunakan optimasi Robas Kontrol Model Prediksi pada subsistem Automatic Train Operation (ATO) kereta Automated Guided Transit (AGT) telah dilakukan oleh Joelianto (2018). Minimalisasi keterlambatan dengan memberi variasi headway secara realtime dengan mempertimbangkan waktu tunggu dan variasi penumpang telah dilakukan oleh Schanzenbacher (2018).