Hasil Ringkasan
1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bila dilihat dalam implementasi praktik perencanaan, maka terdapat perbedaan yang mendasar antara aspek teoritik perencanaan pembangunan dengan pelaksanaannya dalam pengambilan kebijakan. Perbedaan ini tak lepas dari pergeseran sistem pemerintahan yang berlangsung di Indonesia, dimana pelimpahan kewenangan penyelenggaraan pemerintah dari pusat ke daerah beserta perangkat tata kelola pemerintahannya terlihat masih terus belajar dan berkembang dalam mencari bentuk yang terbaik, hal ini terlihat dari perubahan mendasar yang terjadi terkait regulasi yang mengatur pemerintah daerah dalam dua dekade terakhir di Indonesia yaitu: Undang - Undang No. 22 tahun 1999; Undang - Undang No. 32 tahun 2004 dan Undang - Undang No. 23 tahun 2014. Disatu sisi, kebijakan desentralisasi di Indonesia merupakan momentum penting bagi pembangunan daerah di seluruh Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam mewujudkan otonomi daerah. Dimana pada saat banyak negara melakukan desentralisasi kebijakan fiskal pada dekade terakhir saat itu, hanya sedikit yang mencoba melakukannya dengan cepat dan ambisius seperti halnya di Indonesia (Dixon dan Hakim, 2009). Perencanaan Pembangunan daerah khususnya di era otonomi daerah di Indonesia pada kenyataanya tidak bebas nilai (Leksono, Kombaitan, Putro, dan Sutriadi, 2020), dan selalu diputuskan dengan pertimbangan berbagai tekanan dan keputusan yang dinegosiasikan antar pemangku kepentingan pembangunan, yang semua mesti dihadapi perencana. Forester (1989) mengatakan bahwa para perencana tidak bekerja dalam kondisi netral dan bekerja dalam institusi politik, oleh karenanya setiap perencana harus menghadapi kenyataan politik. Hoch (1994) mengatakan bahwa terdapat banyak kasus dimana pejabat dan pengembang menekan perencana untuk menggunakan strategi perencanaan demi keuntungan individu, hal ini dilakukan dengan tekanan maupun suap. Bahkan Krumholz (2001) menyatakan 2 bahwa dalam beberapa kasus, perencana yang menolak keinginan pengembang telah didisiplinkan atau dipecat. Dalam konteks perencana sebagai pengambil kebijakan pembangunan, Friend dan Hickling (2005) mengatakan bahwa yang menjadi persoalan adalah mereka mengalami berbagai tekanan untuk mencapai keputusan, hingga tidak jelas bagi mereka keputusan apa yang dipilih. Sementara itu Lindblom (1959) dalam tulisannya yang telah dikenal luas dengan judul “The Science of Muddling Through” menegaskan bahwasanya pengambilan keputusan dalam praktiknya jelas sangat membingungkan. Karenanya dalam sudut pandang sebuah proses pengambilan keputusan, perencanaan dapat dilihat sebagai aktivitas yang jauh lebih luas yang dengannya dapat mengembangkan kemampuan berfikir dan bertindak kreatif dalam mengatasi kompleksitas dan ketidakpastian dalam pelaksanaan. Planning under pressure memberikan gambaran bagaimana perencanaan dalam praktiknya berada di bawah tekanan, dimana organisasi dalam pengambilan keputusan cenderung terlibat dalam proses yang kurang jelas dalam memilih strategi untuk menghadapi masalah dalam realitas yang kompleks. Tekanan- tekanan dimaksud mencakup: 1) Turbulence, yang akan terkait dengan goncangan politik; 2) Urgency, yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas; 3) Competition, melibatkan pihak-pihak yang terkait dan berupaya memenangkan persaingan; 4) Conflict, dimana persaingan telah pula menimbulkan friksi antar kepentingan; 5) Complexity, dimana kemudian permasalahan menjadi semakin kompleks karena begitu banyak hal yang mesti dipedomani, didengarkan, diacu dan mendapatkan manfaat untuk kepentingan masing-masing, serta; 6) Overload, yang pada kenyataannya perencana pembangunan dihadapkan pada banyak pekerjaan yang juga di luar kapasitas mereka, yang oleh karenanya dalam pengambilan kebijakan final mengalami proses merencanakan secara bersama, mengekplorasi nilai-nilai, mengkaji, proses intervensi dan negosiasi serta proses memutuskan (J. Friend dan Hickling, 2005). Berbagai tekanan dalam pengambilan keputusan pada perjalananya juga dihadapkan dengan ketidakpastian yang semakin memperumit dan memberikan 3 kebingungan dalam pengambilan keputusan. Friend dan Hickling (2005) mengelompokkan ketidakpastian dimaksud kedalam tiga tipe yaitu: 1) Uncertainties of values; berkaitan dengan panduan terhadap nilai-nilai dan memerlukan tujuan yang lebih jelas; 2) Uncertainties of Environment; akan terkait dengan bagaimana bekerja dengan lingkungan dan membutuhkan informasi yang lebih banyak, dan 3) Uncertainties of Related decisions; yang akan terkait dengan pentingnya koordinasi. Selain itu Friedmann (1989) menyatakan bahwa perencanaan dihadapi dengan berbagai kompleksitas persoalan yang mesti diselesaikan dalam berbagai kondisi tekanan dan keterbatasan dan berujung pada pentingnya negosiasi dalam mewujudkan rencana hingga implementasinya.