1 Bab I Pendahuluan Bab pendahuluan akan membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan dan sasaran, manfaat penelitian secara teoritis dan praktis, ruang lingkup wilayah, pembahasan, dan materi penelitian, sistematika penulisan, dan kerangka pikir penelitian. I.1. Latar Belakang Jaringan transportasi membentuk ruang dalam skala yang berbeda. Secara singkat ruang akan membentuk transportasi sebesar transportasi akan membentuk ruang (Rodrigue et al, 2006). Hubungan transportasi dan penggunaan lahan terutama penggunaan lahan dalam skala regional atau global terbentuk karena adanya development axes (Pottier, 1963; Hillhorst, 1972; Richardson, 1978; Santoso et al, 2012; dan Santoso, 2014). Teori development axes menyatakan bahwa jaringan transportasi dibangun untuk menghubungkan pusat pertumbuhan skala nasional/regional/ wilayah (end point). Adanya development axes akan mengurangi biaya transportasi, meningkatkan keuntungan kedua wilayah (end point) yang dihubungkan, dan mengembangkan pusat kegiatan lain di tengah development axes yang kemudian secara linear berkembang sepanjang development axes (Richardson, 1978). Kegiatan yang berkembang sepanjang development axes tersebut diakibatkan adanya aliran pergerakan orang dan barang pada lokasi tersebut yang kemudian dapat berkembang menjadi transport stop. Dapat dikatakan, bahwa pergerakan pada satu kegiatan dapat mempengaruhi perkembangan kegiatan tersebut menjadi transport stop. Transport stop merupakan titik pemberhentian dari moda transportasi seperti pesawat, kereta api, atau bus dalam perjalanan menuju titik akhirnya (Hassan dan Hawas, 2017). Beberapa teori terkait dengan pengembangan wilayah (Teori Konsentris oleh Burgess, Teori Sektor oleh Hoyt, Teori Polisentrik oleh Haris dan Ulman, Teori Koridor oleh Whebell, dan Core-Periphery Theory oleh Friedman) belum dapat menjelaskan bagaimana kegiatan di sepanjang development axes dapat berkembang menjadi transport stop akibat adanya pergerakan (Santoso et al, 2012). Menurut Santoso (2014), pada kenyataannya tidak semua transport stop dapat tumbuh dan 2 berkembang akibat adanya pergerakan pada lokasi tersebut, walaupun titik-titik tersebut dialiri orang dan barang yang sama sepanjang development axes dan memiliki biaya transportasi yang sama rendahnya. Pergerakan yang dapat mempengaruhi perkembangan transport stop pada development axes dapat terjadi karena adanya konsep daya tarik (Santoso et al, 2012). Daya tarik menjadi dorongan awal (initial impulse) adanya perkembangan kegiatan sebagaimana yang dimaksud dalam Teori Cumulative Causation (Myrdall dalam Santoso, 2014) bahwa adanya initial impulse pada kegiatan bisa memberikan dampak pada perluasan aktivitas ekonomi di sekitarnya (inisiasi perkembangan kawasan). Selain konsep daya tarik, juga terdapat perilaku perjalanan lainnya yang dapat mempengaruhi perkembangan titik persinggahan transportasi menurut Santoso et al (2012). Sejalan dengan konsep daya tarik menurut Santoso et al (2012), pelaku perjalanan menentukan transport stop pada rantai perjalanan karena dipengaruhi adanya daya tarik dari lokasi tersebut (Geurs dalam van Acker, 2005). Koppelman (1978) menyebutkan bahwa penentuan transport stop dipengaruhi oleh daya tarik persepsi yang diterima oleh pelaku (cognitive attractiveness). Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahn (2010), mengatakan bahwa karakteristik fungsional (functional attractiveness) yang lebih menjadi faktor penentu dalam pemilihan transport stop. Sedangkan menurut Santoso et al (2012), daya tarik fungsional dapat mempengaruhi daya tarik kognitif yang kemudian mempengaruhi pelaku perjalanan untuk singgah di transport stop. Adanya daya tarik tersebut, yang kemudian akan menjadi inisiasi perkembangan transport stop akibat pergerakan di dalam Teori Development Axes. Di dalam penelitian ini, akan fokus membahas mengenai pengaruh daya tarik fungsional dan kognitif yang dapat menjadi inisiasi adanya perkembangan transport stop akibat pergerakan di dalam Teori Development Axes. Daya tarik fungsional terkait dengan apa yang terjadi di kawasan sebagai akibat dari apa yang dilakukan oleh pelaku kegiatan atau karakteristik fungsional dari lokasi transport stop (Santoso, 2014). Sedangkan daya tarik kognitif terkait dengan persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, dan penalaran yang dikembangkan oleh pelaku pergerakan yang dipengaruhi oleh banyak faktor (Yuliani dan Sujiono, 2004). 3 Untuk membuktikan bahwa daya tarik bisa menjadi inisiasi adanya perkembangan transport stop akibat pergerakan di dalam Teori Development Axes, dipilih koridor Development axes Jalan Lintas Sumatera sepanjang 2.508,5 km yang berawal dari Banda Aceh (Provinsi Aceh) hingga ke Pelabuhan Bakauheni (Provinsi Lampung). Pemilihan koridor ini didasarkan pada kriteria pemilihan yang dikemukakan oleh Santoso (2014), bahwa koridor yang dijadikan fokus penelitian adalah koridor yang masih berkembang dan memiliki karakteristik khusus. Koridor development axes yang dipilih bukan koridor jalan di Pulau Jawa, karena pada jalur tersebut sudah lebih banyak didominasi oleh kawasan yang terbangun dan sudah terhubung Jalan Tol Trans Jawa, sehingga untuk mengetahui perkembangan transport stop akibat adanya pergerakan tidak dapat diidentifikasi secara tepat. Basis kegiatan pada transport stop yang akan diteliti adalah kegiatan perdagangan dan jasa yang secara empiris banyak ditemukan di sepanjang Jalan Lintas Sumatera. Pergerakan yang ada di Koridor Jalan Lintas Sumatera, memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap pengembangan ekonomi wilayah. Dampak dari koridor ini terhadap pendapatan lapangan usaha bidang penyediaan makanan dan minuman berbeda-beda pada masing-masing provinsi yang dilalui koridor ini. Misalnya pendapatan pada lapangan usaha bidang penyediaan makanan dan minuman di Provinsi Sumatera Utara mencapai 11.793 milyar rupiah pada Tahun 2019, Provinsi Sumatera Selatan sebesar 4.150 miliar rupiah, dan Provinsi Lampung sebesar 3.549 miliar rupiah. Dari ketiga provinsi yang memiliki dampak terbesar dari development axes tersebut, Provinsi Lampung diasumsikan memiliki jumlah pergerakan regional yang terbesar karena adanya Pelabuhan Bakauheni yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Sehingga pada penelitian ini akan fokus mengkaji Jalan Lintas Sumatera yang berada pada segmen jalan Batas Provinsi Lampung – Pelabuhan Bakauheni. Koridor jalan regional ini dibangun pada Tahun 1965, pada tahap perencanaan awal Jalan Lintas Sumatera pada ruas tersebut direncanakan sebagai industri besar pada bagian kiri koridor jalan. Industri tersebut meliputi industri tekstil, perkebunan kapas, penggergajian kayu, pabrik, dan sebagainya. Sedangkan pada bagian kanan koridor akan direncanakan sebagai kawasan transmigrasi dengan persawahan dan perkampungan modern (Kusumaputra, 2017). 4 Dengan adanya pembangunan koridor Jalan Lintas Sumatera sepanjang 240 km pada segmen yang telah disebutkan diatas, memunculkan adanya transport stop. Inisiasi transport stop ini sebagian besar diawali dengan adanya kegiatan perdagangan dan jasa (rumah makan) pada lokasi tersebut. Sepanjang ruas Batas Provinsi Lampung – Pelabuhan Bakauheni, terdapat delapan lokasi rumah makan yang berfungsi sebagai transport stop. Berdasarkan kriteria pemilihan transport stop menurut Santoso (2014), terdapat tiga lokasi yang dapat dijadikan studi kasus. Namun, dari ketiga transport stop tersebut, terdapat dua lokasi rumah makan dengan karakteristik kawasan yang sama sejak Tahun 1994 (Rumah Makan Siang Malam) dan 1995 (Rumah Makan Bukit Kahuripan) yang pada kenyataannya tidak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang dijelaskan dalam Teori Development Axes, bahwa tidak semua aliran orang dan barang dapat mempengaruhi perkembangan transport stop. Pada Kawasan Rumah Makan Siang Malam, rumah makan tersebut selama 25 tahun dapat mempengaruhi tumbuhnya kegiatan perdagangan dan jasa serta dapat menyerap tenaga kerja lokal di sekitar rumah makan. Sedangkan kondisi sebaliknya terjadi di Kawasan Rumah Makan Bukit Kahuripan, dimana kawasan sekitar rumah makan tersebut kurang berkembang penggunaan lahannya sejak dibangunnya rumah makan tersebut. Sesuai dengan hipotesis penelitian, bahwa diduga ada daya tarik yang kemudian dapat menjadi inisiasi adanya perkembangan transport stop akibat pergerakan dalam Teori Development Axes, maka pada penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh daya tarik yang dapat menjadi inisiasi dari perkembangan transport stop akibat pergerakan pada Kawasan Rumah Makan Siang Malam dan Rumah Makan Bukit Kahuripan. Penelitian dilakukan dengan membandingkan kedua rumah makan yang menjadi transport stop dengan perkembangan berbeda dan mencari daya tarik apa yang berpengaruh terhadap perbedaan perkembangan transport stop dari pendekatan perilaku perjalanan. Dengan mengetahui adanya daya tarik yang menyebabkan perbedaan perkembangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa daya tarik tertentu dapat menjadi inisiasi suatu perkembangan transport stop. Hasil akhir penelitian yang diharapkan adalah daya tarik yang mempengaruhi perbedaan perkembangan kedua transport stop, dapat menjadi salah satu dukungan terhadap 5 Teori Development Axes dalam menjawab bagaimana pergerakan dapat mempengaruhi perkembangan kegiatan menjadi transport stop. I.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Teori Development Axes yang menyebutkan bahwa adanya aliran pergerakan orang dan barang pada suatu kegiatan, dapat menyebabkan perkembangan kegiatan tersebut menjadi transport stop (Pottier, 1963; Hillhorst, 1972; Richardson, 1978; Santoso et al, 2012; dan Santoso, 2014). Namun di dalam teori tersebut, belum dijelaskan bagaimana aliran pergerakan orang dan barang dapat mempengaruhi perkembangan transport stop (Santoso et al, 2012; Santoso, 2014). Beberapa teori lain terkait dengan pengembangan wilayah juga belum dapat membuktikan bahwa pergerakan dapat mempengaruhi perkembangan kegiatan menjadi transport stop.