BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan dasar-dasar teori mengenai transport disadvantage, eksklusi sosial, hubungan antara eksklusi sosial dan transportasi, serta teori-teori mengenai perdesaan. Pada bagian akhir juga dicantumkan mengenai pemilihan variabel serta rangkuman kajian literatur dari beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan studi ini. 2.1 Transport Disadvantage 2.1.1 Konsep Transport Disadvantage Kelompok transport-disadvantaged bisa didefinisikan sebagai kelompok yang mempunyai permasalahan permintaan transportasi yang tidak dapat dipenuhi oleh layanan transportasi yang tersedia (Rashid, et al., 2010). Menurut Delbosc & Currie (2011), transport disadvantage merupakan keadaan multidimensi yang dicerminkan oleh karakteristik seperti lokasi, mobilitas, atau karakteristik individu. Pengukuran transport disadvantage berdasarkan lokasi biasanya mempertimbangkan jarak atau waktu tempuh untuk mencapai pusat aktivitas seperti fasilitas bekerja, kesehatan, belajar, atau belanja. Sementara pengukuran transport disadvantage berdasarkan mobilitas mempertimbangkan tingkat kesulitan masyarakat untuk mengkases layanan transportasi untuk menunjang kegiatan sehari-hari, misalnya kepemilikan kendaraan pribadi, atau ketersediaan layanan transportasi publik. Yang terakhir merupakan pengukuran transport disadvantage yang berdasarkan karakteristik masing-masing individu atau grup, misalnya disabilitas, usia (misal lansia atau anak kecil), atau struktur keluarga (misal orangtua tunggal). Studi-studi yang dilakukan biasanya mencakup dua atau tiga aspek tersebut untuk mencapai hasil yang lebih menyeluruh mengenai transport disadvantage (Delbosc & Currie, 2011). Lebih lanjut, Kenyon et.al (2002) menjelaskan transport disadvantage didasari oleh faktor yang mempengaruhi immobility (keterbatasan untuk melakukan pergerakan), yaitu kurangnya akses 14 Institut Teknologi Bandung terhadap kendaraan pribadi, faktor demografi, dan ketersediaan layanan transportasi publik. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Unit Eksklusi Sosial di Inggris (Social Exclusion Unit, SEU) pada tahun 2003 disebutkan bahwa transport disadvantage dapat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu tidak terdapatnya akses terhadap layanan transportasi akibat eksklusi sosial, tidak terdapat akses terhadap layanan transportasi dikarenakan penyediaannya yang buruk dan beberapa dampak buruk lain yang berhubungan dengan eksklusi sosial misalnya polusi udara atau kecelakaan. Beberapa kriteria lain yang rentan mengalami transport disadvantage ini adalah golongan masyarakat berpendapatan rendah, masyarakat yang tinggal di daerah terisolir (daerah yang sulit diakses), dan tidak memiliki kendaraan (Litman, 2016). Bukan penemuan baru bahwa kondisi transportasi dan perilaku pergerakan masyarakat berpendapatan rendah di hampir semua negara memiliki pola yang sama, yaitu memiliki keterbatasan dalam bermobilisasi. Jarak tempat tinggal dengan pusat kegiatan merupakan salah satu hal yang bisa dijadikan indikator terjadinya transport disadvantage, tetapi tingkat mobilitas yang rendah tidak bisa dijadikan indikator penentu adanya aksesibilitas rendah atau transport disadvantage. Mobilitas rendah bisa terjadi ketika pusat aktivitas berlokasi dekat dengan tempat tinggal sehingga masyarakatnya tidak bisa dikatakan mengalami transport disadvantage (Adeel, 2015). Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah kenyataan bahwa masyarakat berpendapatan rendah seringkali bertempat tinggal di daerah pinggiran kota atau perdesaan dengan akses buruk dan layanan transportasi yang tidak memadai serta lokasi fasilitas umum yang jauh dari tempat tinggal. Lokasi yang terisolir dan sulit diakses ini menyebabkan masyarakat tersebut harus menempuh jarak yang jauh dan tidak aman dengan cara berjalan kaki (Litman, 2003). Kurangnya akses pada perdesaan seringkali dianggap sebagai salah satu permasalahan transportasi perdesaan. Anggapan ini muncul atas dasar pemikiran bahwa perbaikan pada sistem tranportasi membuat permasalahan mengenai kurangnya akses terselesaikan. Padahal penyediaan transport publik dengan harga terjangkau dan frekuensi tinggi yang dapat menjawab kebutuhan permintaan pergerakan penduduk perdesaan dinilai sangat tidak praktis. Oleh karena itu, 15 Institut Teknologi Bandung anggapan mengenai transportasi sebagai satu-satunya solusi untuk meningkatkan akses mulai mengalami pergeseran menjadi sesuatu yang lebih komprehensif dan melihat aspek-aspek lainnya (Farrington & Farrington, 2005). Ada pula literatur yang mengatakan bahwa kebutuhan masyarakat di perdesaan seringkali mengalami misinterpretasi. Intervensi pemerintah dalam pengembangan transportasi di perdesaan mayoritas dalam bentuk penyediaan jaringan jalan baru. Padahal akses terhadap jalan saja tanpa dilengkapi oleh penyediaan layanan angkutan berarti tidak ada peningkatan mobilitas (Ellis, 1997). Dengan kata lain, intervensi pemerintah tersebut kurang tepat dalam rangka meningkatkan mobilitas masyarakat perdesaan sehingga masyarakat perdesaan tetap saja menghadapi permasalahan kurangnya akses terhadap kesempatan untuk mengembangkan diri dan komunitasnya. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat berpendapatan rendah dan tinggal di daerah terisolir menjadi rentan terhadap fenomena eksklusi sosial. Penjelasan mengenai eksklusi sosial dapat dilihat pada subbab 2.3. Transport disadvantage berhubungan erat dengan eksklusi sosial dikarenakan beberapa alasan penting seperti yang dinyatakan oleh Lucas (2011). Alasan pertama, konsep eksklusi sosial dapat secara langsung menggambarkan dampak atau konsekuensi sosial yang didapat akibat kurangnya akses terhadap layanan transportasi. Kurangnya akses terhadap layanan transportasi membuat masyarakat kurang mempunyai kesempatan mendapatkan kesempatan mengakses fasilitas atau hal yang berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas hidupnya. Alasan yang kedua, konsep ini dapat membedakan faktor penghambat mana yang merupakan karakteristik individu dan karakteristik layanan transportasi sehingga pada akhirnya diketahui kebijakan mana yang tepat untuk diterapkan dalam mengkurangi eksklusi sosial. Alasan yang terakhir adalah temuan studi mengenai eksklusi sosial dapat menjadi masukan yang berarti kepada perencana transport maupun pengambil keputusan serta memberikan gambaran bahwa eksklusi sosial merupakan hal yang multidimensi, berhubungan erat dengan layanan transportasi dan bersifat dinamis. 16 Institut Teknologi Bandung 2.1.2 Pengukuran Transport Disadvantage Pendefinisian kelompok yang mengalami transport disadvantage serta membandingkan karakteristiknya dengan kelompok transport non-disadvantage merupakan langkah penting untuk menciptakan kebijakan tata kota dan transportasi yang tepat sasaran (Duvarci & Yigitcanlar, 2007). Penting untuk diingat bahwa dalam penelitian mengenai transport disadvantage, sebaiknya unit analisis yang digunakan adalah individu, walaupun beberapa indikator yang digunakan cukup dalam tingkat rumah tangga. Beberapa indikator tersebut misalnya pendapatan rumah tangga, ukuran rumah tangga, atau kepemilikan kendaraan pribadi. Sedangkan data yang perlu untuk diketahui pada unit analisis individu berkisar pada data perilaku perjalanan misalnya tujuan perjalanan, waktu tempuh perjalanan, biaya perjalanan, tingkat kenyamanan perjalanan (Duvarci & Yigitcanlar, 2007). Unit analisis berupa rumah tangga misalnya, dapat menyebabkan pengambilan kesimpulan yang terlalu mengeneralisir mengenai fenomena transport disadvantage yang dialami oleh masing-masing individu (Adeel, 2015), padahal kondisi transport disadvantage merupakan pengalaman yang sifatnya personal (Herwangi, 2016). Dalam berbagai penelitian mengenai transport disadvantage dan hubungannya dengan eksklusi sosial, para peneliti banyak menggunakan variabel yang berbeda- beda. Akan tetapi, indikator yang dapat digunakan dalam mengukur transport disadvantage dapat dirangkum sebagai berikut. - Aksesibilitas Aksesibilitas bisa dikatakan sebagai gabungan dari sistem transportasi dan guna lahan. Pada beberapa penelitian, indikator ini sering disebut location-related measures atau location-based measures (Delbosc & Currie (2011), Duvarci & Yigitcanlar (2007)). Eksklusi sosial dan transport disadvantage seringkali dihubungkan dengan permasalahan aksesibilitas (van Wee & Geurs, 2011). Dengan mempertimbangkan permasalahan aksesibilitas, wilayah yang berlokasi jauh dari pusat kegiatan biasanya dianggap mengalami transport disadvantage. Pada penelitian yang membahas eksklusi sosial, sangat penting untuk mempertimbangkan indikator-indikator yang berhubungan dengan jarak, 17 Institut Teknologi Bandung waktu tempuh, atau biaya transport dari lokasi tempat tinggal menuju fasilitas dasar seperti kesehatan, sekolah, atau fasilitas perbelanjaan (van Wee & Geurs, 2011). Meskipun indikator yang digunakan pada kriteria ini penting, tetapi peneliti juga perlu mempertimbangkan kriteria lain yang memicu terjadinya transport disadvantage. Jika hanya kriteria ini yang dipertimbangkan, maka keadaan lain bisa jadi tidak terperhatikan, misalnya perbedaan kebutuhan individu atau keadaan-keadaan terkait transportasi lainnya yang mempengaruhi kualitas akses dari tempat tinggal ke tempat kegiatan (Delbosc & Currie, 2011). - Karakteristik sosioekonomi Akses terhadap pekerjaan merupakan salah satu pertimbangan utama pada program yang berhubungan dengan dan eksklusi sosial, khususnya di negara maju seperti Inggris. Hal ini dikarenakan pekerjaan merupakan cara utama individu atau rumah tangga untuk menghindarkan dirinya dari kemiskinan (Lucas, 2011). Dengan memiliki pekerjaan, maka rumah tangga akan memiliki pendapatan untuk membantunya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada penelitian yang dilakukan oleh Duvarci & Yigitcanlar (2007) ditemukan bahwa indikator pendapatan dan kepemilikan kendaraan pribadi adalah yang paling signifikan untuk menentukan pola transport disadvantage di masyarakat. Kepemilikan kendaran pribadi bisa digunakan sebagai pencerminan akan mobilitas suatu rumah tangga dan keadaan transport non-disadvantage karena kendaraan pribadi dinilai dapat memudahkan pergerakan suatu rumah tangga atau individu tanpa harus bergantung pada orang lain (Adeel, 2015).