BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini dijelaskan mengenai latar belakang studi, pernyataan permasalahan, manfaat dari dilakukannya studi, perumusan tujuan dan sasaran studi, ruang lingkup wilayah dan materi, serta sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Tujuan transportasi paling utama adalah untuk memberikan akses dari orang terhadap barang atau aktivitas yang diperlukan untuk menunjang kehidupan (Fitzgerald, 2012). Bahkan dinyatakan bahwa salah satu kriteria penting dalam evaluasi keberhasilan suatu layanan transportasi adalah dengan melihat sejauh mana layanan tersebut dapat meningkatkan mobilitas masyarakat dan sejauh apa transportasi dapat diakses oleh semua masyarakat (Mraihi & Anis, 2013). Mengacu kepada pernyataan tersebut, maka sewajarnya layanan transportasi dapat diakses dan dirasakan oleh semua masyarakat dan individu untuk menunjang kehidupan yang baik. Akan tetapi, perencanaan transportasi terkadang masih mempunyai blank spot sehingga masih ada lokasi yang tidak terpapar layanan transportasi yang mencukupi. Akibatnya, ada individu atau kalangan yang tidak mendapatkan manfaat dari adanya layanan transportasi. Bahkan mungkin saja ada kalangan atau individu yang tidak mendapatkan akses terhadap layanan transportasi sama sekali. Kalangan inilah yang termasuk ke dalam golongan transport disadvantage (TDA). Kelompok TDA mempunyai permasalahan permintaan transportasi yang tidak dapat dipenuhi oleh layanan transportasi yang tersedia (Rashid, et al., 2010). Secara umum, kelompok TDA mengalami kesulitan terhadap akses yang mempengaruhi pemilihan individu terhadap transportasi, karakteristik mobilitas, dan pada akhirnya berakibat kepada pemilihan aktivitas (Adeel, 2015). Kurangnya layanan transportasi bisa menjadikan suatu wilayah sulit diakses dan menjadi terisolir, baik karena tidak terdapatnya angkutan publik atau keadaan fisik jalan yang buruk. 2 Biasanya wilayah tersebut berlokasi cukup jauh dari pusat kegiatan dengan kondisi kepadatan penduduk rendah sehingga kurang terperhatikan oleh pemerintah. Keterbatasan layanan transportasi ini membuat golongan tersebut rentan terhadap eksklusi sosial, yang kemudian dalam literatur biasa disebut sebagai transport- related social exclusion (eksklusi sosial karena transport) (Herwangi, et al., 2013). Eksklusi sosial merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan rasa ketidakpuasan atau kesulitan bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (Estivill, 2003). Dengan kata lain, seseorang dikatakan tereksklusi secara sosial ketika tidak bisa berpartisipasi dalam kegiatan normal seperti orang lain bukan atas dasar kemauannya sendiri (Burchardt, et al., 1999). Perlu diketahui bahwa eksklusi sosial terjadi bukan dikarenakan kurang adanya kesempatan, tetapi kurangnya akses terhadap kesempatan tersebut (Sen, 2000). Keadaan ini diperparah dengan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat yang tinggal di daerah tersebut adalah masyarakat berpendapatan rendah yang tidak mampu memperoleh rumah tinggal dekat dengan pusat kegiatan karena harganya yang tidak terjangkau (Herwangi, 2016). Sebagai akibatnya, kemungkinan masyarakat tersebut untuk tereksklusi sosial semakin tinggi. Untuk mengatasi keadaan ini, seseorang membutuhkan fasilitas yang dapat diakses sehingga bisa membantu dirinya untuk mengurangi kecenderungan tereksklusi secara sosial (Preston & Rajé, 2007). Sesungguhnya penyediaan transportasi saja tidak bisa secara langsung menghindarkan orang dari keadaan tereksklusi secara sosial, tetapi transportasi dapat memfasilitas orang untuk terhubung kepada kesempatan untuk berkembang (PTEG, 2010). Untuk menghindarkan seseorang dari eksklusi sosial, maka hal yang penting untuk dilakukan adalah memahami bagaimana aspek-aspek yang terkait dengan TDA berhubungan dengan eksklusi sosial. Studi yang mengungkap hubungan antara transportasi dan eksklusi sosial telah banyak dilakukan di negara maju (Lucas, 2011). Akan tetapi, studi yang serupa masih jarang dilakukan di negara berkembang (Herwangi, et al., 2013). Penelitian terpublikasi mengenai transportasi dan eksklusi sosial yang dilakukan di Indonesia membahas mengenai fenomena tersebut di kawasan kota dan perkotaan, dimana layanan transportasi relatif masih tersedia. Belum terdapat penelitian yang secara spesifik membahas mengenai transportasi dan eksklusi sosial pada konteks perdesaan dengan masyarakat yang TDA dan 3 rentan terhadap eksklusi sosial. Perbedaan karakteristik dan perilaku perjalanan masyarakat perdesaan dengan perkotaan menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan untuk melakukan penelitian hubungan TDA dan eksklusi sosial dalam konteks perdesaan. Penelitian yang membahas hubungan transportasi dengan eksklusi sosial salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Herwangi (2016) yang berfokus untuk melihat peran sepeda motor bagi TDA pada kawasan perkotaan. Penelitian Herwangi menyimpulkan bahwa peran sepeda motor sangat besar untuk mendukung pergerakan terutama dengan tujuan bekerja. Hal seperti ini belum tentu terjadi pada penduduk di daerah perdesaan. Pada perkotaan, kepemilikan kendaraan dapat menjadi pendekatan yang baik untuk akses individu terhadap transportasi dan meningkatkan mobilitas. Namun, lain halnya dengan perdesaan dimana pergerakan mayoritas adalah pergerakan internal (Rahardjo, 2008) sehingga kepemilikan kendaraan pribadi belum tentu bisa menjadi pendekatan yang baik untuk akses terhadap transportasi secara umum. Kepemilikan kendaraan pribadi bukan mutlak suatu keuntungan suatu rumah tangga agar terbebas dari TDA (Duvarci, et al., 2011), khususnya pada masyarakat yang mayoritas melakukan pergerakan dengan berjalan kaki di daerah yang cakupan pergerakannya lokal (Adeel, 2015). Hal lainnya adalah aksesibilitas yang dimiliki oleh perkotaan cenderung jauh lebih baik daripada yang terdapat pada perdesaan. Aksesibilitas yang dimaksud bukan hanya dari kondisi jalan ataupun penyediaan layanan transportasi, tetapi juga mencakup jarak dan waktu yang perlu ditempuh untuk mencapai lokasi fasilitas dasar. Lokasi fasilitas dasar pada wilayah perdesaan biasanya terletak pada ibukota desa atau kecamatan sehingga mengakses fasilitas tersebut membutuhkan waktu yang lama dan jarak pergerakan yang tinggi. Hal yang biasanya dilakukan untuk mengatasinya adalah dengan membangun fasilitas di dekat tempat tinggal, daripada membangun akses agar penduduk dapat mencapai fasilitas tersebut (Ellis, 1997). Solusi ini tentu saja dapat berbeda antara desa yang terisolir dan memiliki akses buruk dengan desa yang sudah mulai berkembang dimana fasilitas relatif lebih mudah untuk dicapai. 4 Melihat perbandingan wilayah perdesaan dan perkotaan, serta perbedaan aksesibilitas yang dimiliki oleh perdesaan terisolir dan perdesaan yang relatif sudah berkembang, maka penelitian untuk melihat bagaimana pentingnya aspek TDA terhadap eksklusi sosial pada masing-masing wilayah. Aspek-aspek TDA terhadap eksklusi memiliki pengaruh yang mungkin saja berbeda pada daerah perkotaan dan perdesaan, serta pada perdesaan dengan akses sulit dan relatif mudah. Oleh karena itu, penting dilakukan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana peran setiap variabel dalam hubungannya terhadap eksklusi sosial, khususnya dalam konteks perdesaan yang memiliki karakteristik berbeda dengan perkotaan. Dengan mengetahui bagaimana setiap aspek TDA mempengaruhi eksklusi sosial maka diharapkan usaha pengurangan kecenderungan tereksklusi sosial bagi penduduk di perdesaan akan tepat sasaran sesuai dengan karakteristik aksesibilitas wilayah desa masing-masing. 1.2 Rumusan Permasalahan Seperti yang telah diuraikan pada latar belakang, saat ini masih ada lokasi yang tidak mendapatkan layanan transportasi sehingga masih ada individu atau grup yang tidak mendapatkan manfaat dari layanan transportasi. Biasanya hal ini terjadi pada lokasi yang terletak cukup jauh dari pusat kegiatan atau pusat kota. Wilayah inilah yang disebut mengalami fenomena transport disadvantage (TDA). Selain kurangnya ketersediaan layanan transportasi, wilayah TDA juga mengalami kurangnya ketersediaan fasilitas dasar seperti fasilitas belanja, pendidikan dan kesehatan. Kurangnya akses terhadap layanan transportasi dan fasilitas dasar membuat masyarakat tersebut menjadi sulit untuk meraih kesempatan terhadap kegiatan yang dianggap normal pada masyarakat kebanyakan. Oleh karena itu, mereka menjadi rentan terhadap eksklusi sosial. Eksklusi sosial yang diakibatkan oleh transportasi biasa disebut sebagai transport-related social exclusion. Mayoritas studi mengenai transportasi dari aspek sosial, khususnya mengenai hubungannya dengan eksklusi sosial, dilakukan di negara maju dimana tingkat kemiskinan dan kesulitan akses terhadap layanan transportasi adalah keadaan yang relatif (Lucas, 2011). Studi mengenai hal tersebut masih jarang dilakukan di negara 5 berkembang (Herwangi, et al.