1 Bab I Pendahuluan Latar Belakang I.1 Sistem transportasi kota mempunyai peranan yang penting dalam menyediakan akses bagi masyarakat kota untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dan juga untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan jumlah penduduk kota sangat memerlukan layanan transportasi yang dapat melayani mobilitas pergerakan orang dalam beraktivitas sehari-hari. Dalam hal ini, hubungan antara aktivitas sosial-ekonomi dan transportasi menjadi saling terkait satu sama lain. Di negara-negara berkembang, kota-kota mengalami pertumbuhan pesat dalam hal transportasi dan tantangan yang dihadapi, termasuk diantaranya kemacetan, polusi, kecelakaan, layanan angkutan umum yang buruk, degradasi lingkungan, menipisnya sumber energi, dan kurangnya aksesibilitas bagi masyarakat miskin perkotaan (Pojani & Stead, 2015). Dalam beberapa dekade terakhir, isu-isu transportasi berkelanjutan menjadi pembahasan yang menarik bagi perencana transportasi perkotaan. Banyak upaya yang dilakukan untuk mempromosikan angkutan umum massal sebagai moda utama transportasi kota. Penurunan layanan angkutan umum perkotaan yang didominasi oleh paratransit telah menjadikan angkutan umum yang ada saat ini kurang menarik bagi masyarakat perkotaan. Upaya untuk mengembangkan suatu sistem transportasi perkotaan yang lebih baik merupakan salah satu cara yang dilakukan pemerintah di banyak negara-negara berkembang untuk mengatasi masalah transportasi yang mungkin bisa semakin parah di dalam suatu situasi kompleks pembangunan perkotaan saat ini. Dalam satu dekade terakhir, penyediaan sistem angkutan umum yang nyaman, terjangkau, andal, efisien dan selamat menjadi populer di banyak kota-kota di negara berkembang (SUTP, 2013), tidak terkecuali di Indonesia. Pada satu dekade terakhir ini, beberapa kota di Indonesia mulai membangun suatu sistem angkutan umum perkotaan yang baru untuk mengatasi isu-isu yang mereka 2 hadapi pada industri angkutan umum perkotaan. Kota-kota ini yang padat oleh penduduknya maupun kendaraan pribadi yang terus tumbuh secara cepat dan tak terkontrol, saat ini mencoba berubah dengan mengembangkan suatu angkutan umum perkotaan modern yaitu suatu layanan yang disebut bus rapid transit (BRT). Suatu sistem transportasi berbasis bus yang sukses dikembangkan di Curitiba, Bogota, Mexico, Ahmedabad, Guangzhou, dan kota-kota lainnya dengan biaya investasi yang lebih murah dibanding kereta ringan atau LRT, yang membuat para pengambil keputusan di banyak negara berkembang juga mengadopsi konsep BRT ini (Hidalgo & Gutiérrez, 2013). Tujuan dari pembangunan BRT adalah untuk menjawab tantangan perkembangan kota yang terus berubah ketika layanan angkutan umum yang sudah ada dianggap kurang dapat bersaing dengan meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi. Saat ini di Indonesia telah ada 15 kota besar yang membangun sistem BRT. Sistem BRT dibangun pada jalan yang sudah ada namun belum memiliki lajur terpisah sepenuhnya. Sistem BRT yang oleh Cervero (Cervero, 2013) disebut sebagai ‘BRT Lite’. Meskipun bukan termasuk kelas BRT high-end, pada tahun-tahun mendatang, di dalam Rencana Kerja Pemerintah Jangka Menengah sampai dengan tahun 2019 telah direncanakan untuk membangun sistem yang sama hingga ke 34 kota di seluruh Indonesia (Keputusan Presiden 2, 2015). Namun proses pembangunan sistem BRT sebagai suatu sistem angkutan umum baru sering menghadapi kendala, salah satunya protes atau tentangan dari operator angkutan umum yang sudah ada (KPPU, 2009; Detiknews, 2012; Lindau, dkk., 2014). Mereka para operator angkutan yang sudah ada menganggap bahwa sistem BRT akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi mereka karena sistem BRT beroperasi di jalur yang sama dengan angkutan yang ada saat ini. Fenomena ini terjadi di beberapa kota di Indonesia yang telah membangun sistem BRT (Liputan6, 2008; Antaranews, 2012; Jurnalasia, 2014). Pembangunan sistem transportasi perkotaan yang baru pada dasarnya dimaksudkan untuk menyediakan kesempatan dan keuntungan bagi masyarakat perkotaan melalui aksesibilitas, keselamatan, kenyamanan, dan kesetaraan. Namun di saat yang sama, pembangunan sistem transportasi perkotaan yang baru 3 juga dapat menciptakan dampak negatif seperti degradasi lingkungan dan masalah sosial. Untuk mencegah dampak negatif dari suatu pembangunan yang terus meningkat, maka harus ada suatu pendekatan dan manajemen yang baik dalam mengatasi masalah tersebut guna memastikan bahwa keuntungan dari pembangunan dapat dimaksimalkan dan dampak negatifnya dapat dihindari atau diminimalisasi (Vanclay, dkk., 2015). Guna memastikan keuntungan yang bisa diperoleh dan dampak negatif dapat dihindari, suatu proses social impact assessment (SIA) dapat sangat membantu. Menurut Vanclay (2003), SIA adalah menganalisa, memonitor dan mengatur konsekuensi sosial dari pembangunan. Konsekuensi sosial ini, baik positif dan negatif, dari suatu intervensi yang direncanakan (kebijakan, program, rencana, atau proyek) dan proses perubahan sosial apapun yang muncul akibat intervensi tersebut. Dalam hubungannya dengan pembangunan sistem BRT di kota-kota di Indonesia, SIA akan melihat bagaimana proyek BRT memberikan dampak positif dan negatif kepada orang-orang yang memiliki kaitan dalam sistem transportasi umum perkotaan. Model SIA juga mengizinkan para pengambil keputusan untuk mengatasi isu mengenai rencana-rencana alternatif dan solusi yang cocok untuk menanggulangi masalah sosial yang dihasilkan dari dampak pembangunan sistem BRT. Komunitas, terutama mereka yang terpinggirkan dari arus utama proyek pembangunan, akan dapat lebih baik mengatasi potensi perubahan yang terjadi (Esteves & Vanclay, 2009) dengan memanfaatkan informasi yang dihasilkan dari SIA. Pada tahun 2009 Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) dalam analisisnya terhadap permasalahan implementasi BRT di beberapa kota di Indonesia menyatakan bahwa penundaan pengembangan sistem BRT tidak terlepas dari penolakan oleh operator angkutan kota yang sudah ada yang berpotensi menimbulkan konflik sosial. Penelitian yang dilakukan terhadap dampak sosial dari suatu pembangunan transportasi perkotaan di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan, sehingga kasus yang terjadi di kota-kota di Indonesia terkait dengan implementasi sistem BRT menarik untuk diteliti, tentang bagaimana pihak terkait menciptakan harmonisasi antara sistem BRT dengan 4 angkutan umum yang sudah ada di kota-kota tersebut untuk menghindari munculnya konflik sosial di masyarakat. Oleh karena itu penulis berkeinginan meneliti dan melihat bagaimana dampak sosial dari pembangunan sistem BRT di Indonesia dengan menggunakan pembangunan sistem BRT di Bandung sebagai studi kasus. Bandung merupakan salah satu kota yang mengembangkan sistem BRT, sistem ini dipandang oleh para pakar merupakan salah satu solusi penting dan memenuhi kriteria transportasi berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan transportasi di kota Bandung (Irawati, dkk., 2012). Sistem BRT di kota Bandung atau yang disebut Trans Metro Bandung diprakarsai oleh pemerintah kota Bandung dan direncanakan memiliki 13 koridor untuk memfasilitasi mobilitas masyarakat. Beberapa koridor dioperasikan pada jalur yang sama dengan angkutan umum yang telah ada (ITB, 2014), sehingga menimbulkan konflik sosial dengan penyedia layanan angkutan umum yang telah ada (Alamanda, dkk., 2010). Konflik sosial yang muncul antara operator angkutan kota dengan sistem BRT menunjukkan kekhawatiran para sopir dan pemilik angkot akan kondisi sosial ekonomi mereka sehingga perlu dicarikan jalan keluar yang nantinya dapat memaksimalkan manfaat dari sistem BRT dan meminimalkan dampak kepada operator angkot. Rumusan Masalah I.2 Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Apa saja isu yang perlu dipahami dalam pengembangan sistem BRT di kota Bandung. 2.