19 Bab II Studi Pustaka II.1 Pemanasan Global, Perubahan Iklim, dan Hujan Ekstrim Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim (climate change) merupakan fenomena alam yang terjadi karena memburuknya kualitas lingkungan akibat pencemaran dan penggunaan energi yang berlebihan. Fenomena ini ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan bumi dari tahun ke tahun. Perubahan iklim mempengaruhi langsung komponen utama hidrologi curah hujan, naiknya permukaan laut dan peluasan dataran ke arah laut secara artificial dengan reklamasi telah mengancam semakin sulitnya pembuangan limpasan air hujan dari daratan ke laut (Arwin, 2011). Terkait dengan siklus hidrologi, perubahan iklim mempengaruhi anomali distribusi curah hujan baik secara spasial maupun temporal. Namun demikian pada skala kecil, pola curah hujan tahunan, debit sungai dan hasil air cenderung tidak terpengaruh oleh adanya perubahan iklim, meskipun ada kecenderungan menurunnya jumlah air tersedia untuk keperluan rumah tangga maupun budidaya pertanian (BPTKPDAS, 2012). Salah satu dampak dari meningkatnya suhu permukaan bumi adalah semakin ekstrimnya curah hujan. Pada musim kemarau kekeringan semakin lama, dan pada musim penghujan curah hujan semakin singkat durasinya. Curah hujan yang ekstrim dapat terjadi akibat peningkatan kelembaban udara dan semakin banyaknya uap air yang timbul karena suhu permukaan bumi yang meningkat. Dengan semakin banyaknya uap air, akan semakin banyak pula air hujan yang jatuh ke bumi. Hal ini dibuktikan oleh Hanifah, dkk. (2011) yang melakukan penelitian di Kota Bandung pada tahun 2010. Hasil analisis intensitas curah hujan yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah curah hujan yang terjadi pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2010, seluruhnya berada di atas normal demikian pula dengan jumlah hari hujannya. Tingginya intensitas curah hujan yang terjadi selama tiga bulan berturut-turut dengan kondisi di atas normal jarang sekali terjadi di wilayah Bandung. 20 II.2 Hidrologi Hidrologi adalah ilmu yang memperlajari pergerakan air di muka bumi baik kuantitas maupun kualitas air dalam ruang dan waktu dengan komponen- komponen siklus hidrologi merupakan variabel acak dan kecenderungan stokastik. Pengaruh pemanasan global dan faktor regional seperti perubahan temperatur di Samudera Pasifik dan Samudra Hindia, serta faktor lokal seperti perambahan hutan/konversi lahan terbangun berpengaruh terhadap komponen-komponen hidrologi seperti hujan (P), debit air (Q) dan tinggi muka laut. Pengaruh-pengaruh tersebut tercatat melalui stasiun-stasiun pengamatan komponen siklus hidrologi dan stasiun observasi muka laut (Arwin, 2009). Dari data hidrologi tersebut sebagai input, dapat dianalisa fenomena degradasi rezim hidrologi dengan pendekatan model hidrologi statistik seperti yang ditunjukkan pada Gambar II.1. Gambar II.1 Dasar pengendalian limpasan air DAS (modifikasi dari Arwin, 2009) Dalam ruang hidrologi, massa air adalah tetap. Salah satunya curah hujan yang jatuh di permukaan tanah akan terdistribusi menjadi: P = I + R dengan P adalah curah hujan, I adalah fraksi air hujan tertahan di bawah permukaan tanah, dan R 21 adalah fraksi air hujan menjadi limpasan air permukaan. Perubahan tutupan lahan alami dari hutan menjadi budidaya, permukiman, pedesaan, dan urban berdampak semakin besar R pada musim hujan dan sebaliknya I dalam tanah semakin kecil (input), sehingga penyimpanan air tanah (ΔS) semakin kecil. Hal ini berpengaruh pada besaran evaporasi (E) dan aliran air tanah (output) terutama limpasan aliran tanah menyentuh permukaan bebas seperti aliran dasar sungai (B*) dan mata air (B**). Ketersediaan sumber air sangat tergantung pada massa air hujan yang tersimpan menjadi cadangan air tanah (I = P – R), sehingga persamaan ketersediaan air dapat dituliskan sebagai berikut (Arwin, 2009): ΔS = I – E – B* - B** (II.1) Di DAS Cikapundung bagian hilir, aliran air yang mengalir di sungai mengikuti hukum kekekalan masa dengan debit yang mengalir dalam sungai (Q) akan berubah terhadap jarak (x) dan waktu (t). Bila lebar sungai (B) dianggap tetap, maka perubahan debit (Q) akan mempengaruhi ketinggian air dalam sungai (h). Peningkatan debit sungai di area hulu dan hilir akan mengakibatkan debit sepanjang sungai juga meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan ketinggian air dalam sungai. II.3 Pengolahan Data Hujan Analisis hidrologi yang biasa digunakan adalah pengolahan data komponen utama hidrologi yang meliputi hujan dan debit. Pengolahan data hujan dapat meliputi pelengkapan curah hujan, uji konsistensi dan perhitungan curah hujan. Pengolahan data debit yang dimaksud adalah pembangkitan data dan analisis distribusi. II.3.1 Pembangkitan Data Curah Hujan Data yang ideal, menurut Pramastuti, merupakan data yang akurat dan tersedia dalam panjang data yang cukup untuk menunjang penelitian, namun data yang tersedia biasanya memiliki periode pengamatan yang tidak lengkap diakibatkan oleh beberapa hal diantaranya adalah kerusakan alat pengukuran, kelalaian petugas, bencana alam, pergantian petugas, dan lain-lain, sehingga dalam 22 melengkapi data hujan tersebut dapat diperhitungkan dengan menggunakan data distribusi pos hujan sekitar dan pola hujannya (Jatikusuma, 2016). Asdak (2007) mengatakan bahwa data curah hujan yang didapatkan tidak semua memiliki data yang lengkap disebabkan oleh beberapa hal diantaranya stasiun pencatat curah hujan tidak berfungsi pada periode tertentu atau stasiun hujan ditempat tersebut ditutup untuk beberapa waktu. Beberapa metode yang dapat digunakan diantaranya adalah (Jatikusuma, 2016): A. Persamaan Regresi Linier Sederhana Hubungan dari dua variabel atau lebih dapat dinyatakan dengan persamaan matematis yang menyatakan hubungan fungsional antar variabel disebut dengan persamaan regresi. Pada regresi linier sederhana, setidaknya terdapat dua variable, terdiri dari variabel dipenden atau yang dijelaskan (biasa dilambangkan dengan Y) dan variabel independen atau variabel yang dijelaskan (biasa dilambangkan dengan X). Untuk pengisian data hujan, maka variabel Y merupakan stasiun penakar hujan yang dilengkapi, sedangkan variabel X adalah stasiun pelengkap. Adapun tujuan dari analisis regresi terhadap pasangan variabel dinyatakan dengan notasi Y dan X tersebut adalah: 1. Mencari bentuk persamaan yang sesuai, untuk meramalkan rata-rata Y bagi X tertentu atau rata-rata X bagi Y tertentu, serta menaksirkan kesalahan dari peramalan tersebut, 2. Mengukur tingkat korelasi antar variabel X dan Y. Tingkat korelasi tersebut tergantung pada pola variasi atau inter-relasi yang bersifat simultan dari variabel X dan Y. Hubungan antara dua variabel (X dan Y) diekspresikan dalam persamaan garis regresi sederhana sebagai berikut: >L 0�:;F�:�; 0�: t F:�:; t (II.2) =L :�;F>�:; 0 ƒ–ƒ—=L �: t �;F�:�:; 0�: t F:�:; t (II.3) 23 dengan: a, b = Konstanta/parameter yang Ada dalam Regresi N = Jumlah Data Pasangan Observasi atau Pengukuran Derajat hubungan diantara variabel tersebut, terutama untuk data kuantitatif disebut dengan koefisien korelasi (r). Persamaan garis regresi sederhana dari dua variabel tersebut memiliki derajat hubungan yang disebut dengan koefisien korelasi, nilai tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: NL 0�:;F�:�; §0�: t F:�:; t F§0�; t F:�;; t (II.4) dengan: r = Koefisien Korelasi Antar Variabel N = Jumlah Data Pasangan Observasi atau Pengukuran Nilai koefisien korelasi memiliki rentang antara -1 ≤ r ≤ 1. Nilai korelasi yang memiliki nilai r = -1 berarti bahwa dalam hubungan antar variabel keduanya memiliki hubungan yang tidak langsung atau korelasi negatif. Semakin besar nilai variabel X akan menimbulkan hubungan yang terbalik untuk nilai Y. Untuk nilai r = 1 berarti bahwa hubungan dua variabel memiliki hubungan yang langsung atau berkorelasi positif. Semakin besar nilai variabel X, maka akan berimbang dengan semakin besarnya nilai dari variabel Y. Nilai r = 0 berarti bahwa tidak ada hubungan linier di antara kedua variabel (Jatikusuma, 2016). B. Metoda Aritmatik dan Perbandingan Normal Jika selisih tinggi hujan rata-rata tahunan antar stasiun pengukuran yang datanya hendak dilengkapi dengan stasiun pengukuran terdekat, stasiun hujan pelengkap, memiliki nilai kurang dari 10 %, maka data hilang dari stasiun hujan tersebut dapat dilengkapi dengan menggunakan metoda aritmatik atau rata-rata aljabar dari stasiun pelengkap pada periode yang sama seperti persamaan (Asdak, 2007): L TL :L =EL >EL. ; u (II.5) 24 dengan: p x = Curah Hujan Harian/Bulanan Stasiun yang Hilang p a, pb, pc = Curah Hujan Harian/Bulanan Stasiun yang Pembanding Untuk metode perbandingan normal digunakan jika selisih tinggi hujan rata-rata tahunan antar stasiun pelengkap dengan stasiun yang dilengkapi memiliki nilai yang lebih dari 10 %, maka data yang hilang dilengkapi menggunakan metoda perbandingan normal dengan persamaan berikut (Asdak, 2007): L TL s u B@ 2T 2= AL =E@ 2T 2> AL >E@ 2T 2. AL ?C (II.6) dengan: p x = Curah Hujan Harian/Bulanan Stasiun yang Hilang p a, pb, pc = Curah Hujan Harian/Bulanan Stasiun Pembanding Px, Pa, Pb, Pc = Curah Hujan Normal Jangka Panjang Masing-Masing Stasiun Kedua metode di atas memiliki beberapa kelemahan jika dibandingkan dengan persamaan regresi linier/korelasi spasial komponen hidrologi. Kelemahan tersebut di antaranya adalah bahwa ke dua metoda di atas tidak menggunakan pembobotan untuk stasiun hujan pelengkap, sehingga dapat menimbulkan kesalahan perhitungan karena keseluruhan stasiun hujan pelengkap dianggap memiliki karakteristik yang sama (Plamonia, 2010). II.3.2 Uji Konsistensi Penggunaan data hujan yang telah dilakukan pelengkapan maupun pembangkitan data kosong dari data hujan yang tercatat perlu untuk dilakukannya uji konsistensi yang bertujuan untuk melihat tingkat keakuratan data yang digunakan dalam pengolahan.