Hasil Ringkasan
BAB 2 Riana Viciani

Jumlah halaman: 35 · Jumlah kalimat ringkasan: 50

12 Bab II Tinjauan Pustaka Bab ini menjelaskan mengenai tinjauan pustaka terkait penelitian berupa teori magersari, pariwisata, permukiman berbasis wisata budaya (cultural tourism) dan panduan perancangan kawasan, rangkuman hasil tinjauan pustaka dan kerangka teoritik. II.1 Pariwisata Budaya (Cultural Tourism) Pariwisata merupakan suatu kegiatan perjalan dari suatu tempat, ketempat lainnya dengan tujuan rekreasi, dan telah berlangsung sebagai bagian dalam kehidupan manusia. Menurut Spinllane (1958) dalam Hadiwijoyo (2012), pariwisata sudah ada sejak dimulainya peradaban manusia dengan ditandai oleh adanya pergerakan penduduk yang melakukan ziarah dan perjalanan agama, sedangkan Budaya merupakan suatu kebisaan, norma dan nilai yang lestarikan serta menjadi kepercayaan bagi masyarakat atau kelompok tertentu. Budaya juga mampu membentuk karakter suatu masyakat atau kelompok untuk taat dan tidak melanggar aturan. Kebudayaan memiliki potensi sebagai pariwisata, seperti halnya yang dikemukan oleh Tribuwani dalam Gunawan (1997), yaitu budaya masyarakat sebagai daya tarik pariwisata dan keragaman budaya dapat ditawarkan sebagai produk khusus bagi wisata budaya. Pengertian, jenis pariwisata budaya, Daya tarik pariwisata budaya, komponen dan indikator pariwisata budaya, serta potensi pengembangan pariwisata budaya pada kawasan permukiman magersari akan dijelaskan pada sub bab berikut. II.1.1 Pengertian Pariwisata Budaya Pariwisata budaya merupakan suatu kegiatan yang menggabungkan fungsi edukasi dan rekreasi dalam satu konsep kawasan. Edukasi yang dimaksud adalah pengetahuan tentang budaya dan adat istiadat, sedangkan rekreasi berupa fasilitas pendukung pariwisata, Pengertian Pariwisata budaya juga dikemukan oleh Pendit (2002) berupa perjalanan wisata ke tempat lain atau ke luar negeri yang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui dan mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan atau 13 adat istiadat, cara hidup, budaya dan seni masyarakat di lokasi yang dituju. Pariwisata budaya menjadi bagain penting dalam pengembangan kawasan, karena mampu meningkatkan nilai perekonomian, seperti hanya yang dinyatakan oleh McKercher (2002), pariwisata budaya merupakan suatu bentuk tujuan pariwisata yang mengandalkan aset warisan budaya dan mengubahnya menjadi produk yang dapat dikonsumsi oleh wisatawan. Sedangkan menurut Suranti (2002) Pariwisata budaya merupakan aktivitas perjalanan temporal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dari tempat tinggal ketempat lainnya dengan tujuan untuk menyaksikan atau menikmati situs purbakala, tempat bersejarah, museum, upacara adat tradisional, pertunjukan kesenian, fesitival dan lainnya, bukan hanya kegiatan yang menjadi fokus utama pengembangan tetapi juga daya tarik wisata sebagai sifat unik, terbatas dan tidak terbarukan. Pendapat berbeda dikemukan oleh Racz (1998) dalam Bujdoso dkk (2015), Pariwisata budaya merupakan kegiatan untuk menyatukan keuntungan ekonomi dengan nilai-nilai konservasi dan memampu meningkatkan kesadaran pengunjung tetang pentingnya melestarikan nilai-nilai masa lalu untuk dapat memperkuat identitas kawasan. Pengertian pariwisata budaya dapat disimpulkan sebagai suatu kegiatan perjalanan seseorang atau kelompok tertentu untuk mempelajari nilai budaya, tradisi dan bangunan bersejarah sebagai bagain dari sejarah perkembangan kawasan. Pariwisata budaya juga melibatkan masyarakat sebagai bagaian dalam perkembangannya, masyarakat memiliki peran penting untuk menjaga, mengembangkan dan mempertahankan budaya sebagai nilai jual bagi kawasan. II.1.2 Jenis Pariwisata Budaya Menurut McKercher (2002) dalam bukunya yang berjudul “Cultura Tourism”, Cultural Heritage Management membagi pariwisata budaya berdasarkan sifatnya yaitu pariwisata budaya yang berwujud (Tangible) dan Pariwisata buadaya yang tidak berwujud (Intangible). Adapun jenis pariwisata ini akan diklasifikasikan sebagai berikut. 14 Gambar II.1 Jenis Pariwisata Budaya (McKercher, 2002) McKercher juga mengklasifikasikan pariwisata budaya berdasarkan jenis produk wisata yang dihasilkan, adapun jenisnya berupa built, touristc, economic, transport, cultural landscape, creative industries, religious,diaspora ethnic, extant ethnic, dark and natural heritage, adapun jenis pariwisata budaya adalah sebagai berikut. Tabel II.1 Klasifikasi kategori produk wisata budaya No Product Category Descriptor Examples 1 Built: non touristic Prehistoric, historic and contemporary built heritage not transformed for touristic use ƒ Archeological sites ƒ Ruins ƒ Listed historic sites ƒ and buildings ƒ Other historic structures ƒ Artifacts ƒ Forts ƒ Castles ƒ Historic houses ƒ Iconic contemporary architecture ƒ Cemeteries ƒ Vernacular architecture 2 Touristic purpose: built or modified Purpose built attractions, including adaptive reuse of extant facilities. ƒ Theme parks ƒ Museums ƒ Cultural centres ƒ Conversion of historic sites to tourist attractions 3 Economic Tangible and intangible heritage associated with Agriculture, Industry, etc. ƒ Industrial heritage ƒ Attractions based on primary ƒ productions (mining, forestry, etc.) ƒ Farms and farm museums ƒ Agricultural practices ƒ Rare breeds (livestock and plants) Bahasa, adat istiadat Intangible Ritul, Kepercayaan dll leTarian, Musik, Teater Candi, Monumen, Benteng Istana, Tugu, Masjid Gereja, Kuil dan situs sejarah lainnya Ist T Tangible 15 No Product Category Descriptor Examples ƒ Vineyards ƒ Distilleries, breweries, wineries, etc 4 Transport Transport, Infrastructure or Superstructure ƒ Canals ƒ Maritime structures (lighthouses, etc.) ƒ Ships ƒ Cars ƒ Railways ƒ Dams ƒ Bridges ƒ Roads 5 Cultural landscapes Combined tangible and intangible features ƒ Historic towns ƒ Seaside resorts ƒ Neighbourhoods ƒ Industrial zones ƒ Linear or circular touring routes ƒ Precincts 6 Creative industries Arts, performance, etc ƒ Low to high culture ƒ Dance ƒ Performance ƒ Popular culture ƒ Theatre ƒ Literature ƒ Film ƒ Events and festivals focusing on the creative industries 7 Religious Tangible and intangible artifacts and practices ƒ Religious sites (churches, temples, mosques, etc.) ƒ Sacred sites ƒ Relics ƒ Religious practices ƒ Religious festivals and events 8 Diaspora ethnic Tangible and intangible focusing largely on migrant communities ƒ Diaspora ƒ Urban ethnic precincts ƒ Immigration festivals and events ƒ Ethnic festivals in migrant countries ƒ Homecoming festivals in source countries ƒ Slum tours ƒ Poverty tours ƒ Ethnic foods 9 Dark Sites of human suffering ƒ War sites ƒ Battlefields ƒ War graves ƒ War memorials ƒ Slavery ƒ Concentration camps ƒ Genocide sites ƒ Prisons 10 Natural heritage (mixed value) Cultural tourism associated with and ƒ Conservation areas ƒ Botanic gardens 16 No Product Category Descriptor Examples defined by natural landscapes ƒ Agricultural practices (e.g. terraced farming) ƒ Historic recreational use ƒ Wildlife and associated cultural practices ƒ Zoos Sumber : McKercher (2002) II.1.3 Daya Tarik Pariwisata Budaya Perekembangan pariwisata budaya tidak terlepas dari adanya daya tarik kawasan, daya tarik ini merupakan ide-ide kreatif yang tumbuh pada objek wisata yang dikembangkan. Ide ini dapat dianggap sebagai produk seperti halnya informasi atau pesan-pesan yang menggandung unsur budaya. Daya tarik ini pula yang menyebabkan wisatawan bersedia untuk mengeluarkan biaya sebagai kompensasinya (Suranti, 2005). Daya tarik pariwisata budaya dapat meningkatkan keuntungan selain itu, menurut Michalko, (2004) dalam Bujdoso (2015) menyatakan bahwa motivasi seseorang melakukan pariwisata budaya adalah untuk mengenal budaya baru, berpartisipasi dalam acara kebudayaan, dan mengunjungi kawasan yang bener-benar dianggap unik serta mempelajari nilai budaya tertentu. Daya tarik pariwsata budaya muncul dari adanya keinginan dan kebutuhan seseorang, seperti halnya Gun (1988), menyatakan bahwa pariwisata sebagai suatu sistem dan memilahnya dari sisi permintaan dan sediaan. Permintaan dalam arti seberapa besar kebutuhan pengujung akan adanya obyek wisata dan desitinasi wisata, sedangkan sediaan berupa seberapa besar kawasan mampu menyedikan fasilitas penunjang pariwisata budaya. Adapun hubungan antar permintaan dan sediaan dapat dilihat pada Gambar II-4 berikut. 17 Penelitian pada Ireland National Tourism Development Authority (2015) menyatakan bahwa minat seseorang terhadap perkembangan pariwisata budaya dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut : a. Motivasi Wisata Budaya : movitivasi yang dipengaruhi oleh keinginan wisatawan untuk mempelajari nilai budaya, dan karakteristik budaya seperti bangunan, adat istiadat dan kesenian ; b. Terinspirasi dari Nilai budaya : memiliki minat yang sangat kuat terhadap wisata budaya dan ingin melakukan pertualangan yang memiliki unsur budaya, seperti tinggal untuk beberapa waktu dalam kawasan budaya ; c. Pengetahuan dan Penelitian: Perjalanan budaya yang dipengaruhi oleh adanya kegiatan pendidikan, dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan budaya. Minat seseorang untuk melakukan wisata budaya jug dipengaruhi oleh adanya situs budaya, bangunan, arkelog, kerajinan dan kesenian, sehingga peran masyarakat menjadi bagian penting dalam menentukan keberhasilan pengembangan pariwisata budaya. adapun beberapa hal yang mempengaruhi pengalaman wisatawan dapat lebh jelas dilihat pada gambar berikut. Gambar II.2 Sistem pengembangan pariwisata (Gun,1998 ; 68) 18 II.1.4 Komponen Pengembangan Pariwisata Budaya Komponen pengembangan pariwisata budaya merupakan bagian penting dalam pengembangan kawasan, hal inilah yang kemudian yang menjadi landasan untuk memperhatikan keberhasilan kawasan. Komponen fisik yang menjadi bagian penting dalam pengembangan kawasan pariwisata budaya terdiri dari komunitas, akses dan linkage (Gun ; 1998) adapun komponen fisik ini adalah sebagai berikut. Quality Tourism Experience Visitor Product Local community Influences -Social Construction Media ƒExpectations ƒProduct image ƒKnowledge ƒTravel experience -Activities involved in interactions with: ƒNatural environment ƒRecreation ƒSpiritual environment ƒSupport services - Informal developing ƒWithin travel group ƒOutside travel group Influences - Formal developer ƒTour guides ƒTravel agents ƒMarketing organizations ƒTourism business staff - Governments at all ƒlevels ƒEconomics/tax contribution ƒEmployment ƒPolitical economic theory - Tourism businesses ƒTransportation ƒAccommodation ƒFood services ƒRetail ƒAttractions Influences - Informal developer ƒFamily/friends ƒLocal residents - Local government ƒSustainability ƒSense of place ƒAttachment to place ƒHeritage ƒEnvironment ƒSocial capital - Quality of life (QOL) ƒ Importance of QOL indicators ƒSatisfaction with indicators ƒBelief in tourism’s influence -Resident attitudes towards ƒtourism ƒLife Cycle Theory ƒSocial Exchange Theory ƒSocial Representation Theory Gambar II.3 Pengalaman dan Motivasi Wisatawan ( Nickerson, 2006) dalam Nilnoppakun, 2015) 19 Gambar II.4 Komponen Fisik Pengembangan Pariwisata Budaya (Gun, 1998 Chapter 7 Hal 226) Komponen pengembangan pariwisata ini merupakan konsep dalam penentuan destinansi budaya, dimana menurut Gun komponen penting diurutkan dari adanya sistem sirkulasi yang baik pada kawasan, kemudian memiliti gateway sebagai pintu masuk utama menuju kawasan, terdapat komunitas yang mendukung kegiatan budaya, adanya keterkaitan antar ruang budaya dan atraksi yang terbentuk pada kawasan. Komponen pengembangan pariwisata budaya juga dikemukan oleh beberapa ahli dimana bagian penting pengembangan dapat lebih jelas dilihat pada tabel berikut ini. Tabel II.2 Komponen Pengembangan Pariwisata Budaya No Komponen Indikator Sumber 1 Atraksi dan aktivitas Memiliki daya tarik dan aktivitas budaya Iskeep (1991) Memiliki lebih dari satu atraksi yang menjujung budaya lokal PP No 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pariwisata Terdapat Pelestarian dan Potensi Pengolahan Budaya Lokal Mayra P Gun Cultural Tourism (1994) Oka A Yeti Pengembangan Perencanaan Pariwisata Casapo (2010) Nilnoppakun (2014) Sirkulasi berkaitan dengan akses masuk dan keluar kawasan dan pejalan kaki Gateway terdiri arah pada kawasan, informasi dan impression Community terdiri dari pelayanan, fasilitas, produk dan atraksi Lingkage berupa tautan pada kawasan, keterkaitan antar ruang Attractions terdiri dari bagian design yang menarik pada kawasan 20 No Komponen Indikator Sumber Penggunaan Aset Warisan Budaya McKercher (2002) Pertunjukan Budaya (Kesenian, Festival / perayaan lokal, aktivitas pada lingkungan konservasi) Nilnoppakun (2014) 2 Pelayanan dan Fasilitas Memiliki fasilitas jasa pariwisata baik di dalam maupun disekitar kawasan Iskeep (1991) Nilnoppakun (2014) Memiliki fasilitas perbelanjaan Oka A Yeti Pengembangan Perencanaan Pariwisata Memiliki Fasilitas Parkir UU No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Memiliki Fasilitas penunjang kegiatan pariwisata (penginapan, restoran dll) PP No 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pariwisata 3 Aksesiblitias & Akomodasi Jarak yang mudah dijangkau Pendit dalam Rahyu dkk (2015) Menyediakan moda transportasi yang layak Gunn, Clare A. 1988. Tourism Planning 4 Informasi dan Promosi Terdapat promosi terhadap kegiatan pariwisata budaya UU No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Terdapat informasi terkait kegiatan pariwisata budaya PP No 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pariwisata 5 Sosial Kehidupan Budaya dan Lingkungan Budaya Gunn, Clare A. 1988. Tourism Planning Kualitas SDM Gunn, Clare A. 1988. Tourism Planning Sifat Ramah tamah penduduk dan keingin tahuan Pendit dalam Rahyu dkk (2015) Terdapat komunitas budaya selaku penggerakan pemasaran pariwisata budaya Oka A Yeti Pengembangan Perencanaan Pariwisata Terdapat keterlibatan masyarakat dalam pariwisata budaya PP No 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pariwisata Terdapat program pengembangan pariwisata budaya UU No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan 6 Kelembagaan dan Kebijakan Terdapat dukungan kelembagaan dan pemerintah setempat Gunn, Clare A. 1988. Tourism Planning Adanya koordinasi pengembangan pariwisata dengan perencanaan kawasan Putra dalam zakaria (2011) Terdapat pengawasan terhadap perkembangan pariwisata budaya PP No 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pariwisata Adanya dukungan kebijakan kota terhadap pengembangan pariwisata budaya UU No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan 7 Ekonomi Terdapat alokasi dana khusus untuk kegiatan pengembangan pariwisata budaya Oka A Yeti Pengembangan Perencanaan Pariwisata 21 No Komponen Indikator Sumber Terdapat inventasi dari pihak swasta PP No 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pariwisata Memberikan peningkatan perekonomian bagi masyarakat lokal UU No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan 8 Bentuk dan Identitas Kawasan Memiliki ciri bangunan yang khas Gunn, Clare A. 1988. Tourism Planning Memiliki identitas atau landmark Gunn, Clare A. 1988. Tourism Planning II.2 Teori Placemaking Konsep placemaking merupakan konsep yang mengubah ruang menjadi tempat yang memiliki makna. Tempat ini dapat berarti sebagai wujud dari kegiatan baru yang mempu menghidupkan kawasan menjadi lebih bernilai dari fisik dan non fisik. Pada subbab ini akan membahas mengenai pengertian, komponen dan indikator placemaking, konsep pembentuk placemaking dan penerapan komponen placemaking pada pengembangan pariwisata budaya di Kawasan Tamansari. II.2.1 Pengertian Place dan Placemaking Placemaking merupakan suatu teori tentang pembentukan tempat. Place dapat diartikan sebagai suatu space yang memiliki makna atau arti yang berbeda sebagi perwujudan dalam peningkatan kualitas kawasan. Teori placemaking menurut Nick dalam safira (2012), placemaking adalah suatu cara bagaimana menciptakan suatu yang special, baik dari dalam atau luar ruang (space). Placemaking juga merupakan proses transformasi dari ruang menjadi sebuah tempat yang memiliki suasana tertentu dan suasana dapat terbentuk dari aktivitas, bentuk, lingkungan dan pola budaya yang dikembangan pada suatu kawasan. Placemaking juga dikemukan oleh Relph dalam Carmona (2003) berupa suatu ruang yang terbangun dari pengalaman-pengalaman yang dirasakan langsung. Carmona (2003) untuk menciptakan suatu place atau tempat yang memiliki makna dapat ditinjau dari activity (aktifitas), form (bentuk tempat) dan image (karakter tempat). Trancik (1986) dalam Zahnd (1999) menyatakan bahwa manusai memerlukan suatu sistem places (tempat-tempat tertentu) yang berarti dan agak 22 stabil untuk mengembangkan kehidupan dan budayanya. Place adalah sebuah space yang memiliki suatu ciri khas tersendiri. Sebuah space akan ada kalau dibatasi sebagai sebuah void dan sebuah space menjadi sebuah place kalau mempunyai arti dari lingkungan yang berasal dari budaya daerahnya. Pengertian Placemaking secara keseluruhan dapat disimpulkan sebagai proses mengubah ruang (space) menjadi tempat (place) yang memiliki makna, dimana proses perubahan ini melibatkan fisik dan non fisik pada ruang. Place dapat dibentuk dengan menciptakan tempat yang atraktif dan sebaliknya place juga dapat terwujud dari kegiatan non fisik seperti artarksi budaya, nilai kearifan lokal dan sikap atau aktivitas pelaku dalam ruang. Perubahan fungsi pada kawasan dengan konsep yang berbeda juga dapat dinayatakan sebagain placemaking, yaitu dimana suatu kota bertransformasi menjadi suatu tempat yang memiliki makna, yang dapat menarik seseorang untuk melihat, mengunjungi dan menikmati kawasan. Konsep Placemaking, dapat menjadi bagian penting dari perancangan kota, karena akan memberikan nuasa tempat yang berbeda, dan tentunya melibatkan masyarakat dalam pengembangannya. II.2.2 Pola Sebuah Tempat Pola suatu tempat pada teori placemaking, juga dapat diidentifikasi melalui teori figure-ground. Teori figure-ground dipahami dari perancangan kota sebagai hubungan tekstural antara bentuk yang dibangun (building mass) dan ruang terbuka (open space). Teori figure ground adalah alat yang sangat baik untuk mengidentifikasikan sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan (urban fabric), serta mengidentifikasikan masalah keteraturan massa atau ruang perkotaan (Zahnd, 1999). Pola pembentukan tempat yang dikemukan oleh Zahnd (1999) terdiri dari sistem pengaturan berupa pola tekstur sebuah ruang dan pola ini secara arsitektural dibagi kedalam tiga kelompok yaitu: ƒ Susunan kawasan bersifat homogen, yang jelas dimana hanya ada satu pola penataan ; 23 ƒ Susunan kawasan yang bersifat heterogen, dimana dua atau lebih pola berbenturan ; ƒ Susunan kawasan yang bersifat menyebar, dengan kecenderungan kacau. Gambar II.5 Pola sebuah sempat (Zahnd, 1999) II.2.3 Hubungan Antar Tempat Menurut Cross (2001) dalam jurnal yang berjudul “What is sense of place”, menyatakan bahwa place atau tempat dibentuk oleh beberapa jenis konektivitas dengan tempat dan dikategorikan kedalam enam jenis hubungan yaitu biologi, spiritual, ideologi, narasi komodifikasi dan dependen. Berikut adalah hubungan antar tempat yang dirasakan oleh sesorang, dan setiap orang memiliki lebih dari satu hubungan antar tempat. Figure ground Lingkage Place Merupakan suatu pendekatan dimana fungsi awalnya adalah untuk mengidentifikasi bentuk kota (urban forms) dari menganilisis hubungan antara massa bangunan (building mass) dan ruang-ruang terbuka kota (open space) Hubungan sebuah tempat dengan yang lainnya dari berbagai aspek sebagai suatu henerator perkotaan. Teori ini menegaskan hubungan – hubungan dan gerak-gerak dinamika sebuah tata ruang perkotaan. Place merupakan pembentukan tempat dengan menciptakan tempat yang memiliki makna dari berbagai unsur, sistem place ini kemudian menghubungan tempat menjadi beberapa bagian yang memiliki makna (solid-void) 24 Tabel II.3 Hubungan antar tempat No Hubungan Jenis Obligasi (Ikatan) Proses 1 Biografi Sejarah dan Keluarga Memilih tempat berdasarkan Tempat tinggal, tempat dilahirkan dan mengalami perkembangan setiap waktunya. 2 Spiritual Emosiaonal dan tidak berwujud Memilih tempat berdasarkan rasa memiliki dan merasakan bagaiaman tempat dapat tercipta. 3 Ideologi Moral dan Etika Memilih tempat berpedoman dengan moral dan etika mengapa tempat harus dijaga dan dirawat. 4 Narasi Mitos Memilih tempat karane ingin belajar tentang tempat melalui cerita, termasuk penciptaan mitos, sejarah keluarga, politik dan hal-hal fiktif 5 Komodifikasi Kognitif (berdasarkan pilihan dan keinginan) Memilih tempat berdasarkan daftar atau ciri khas tempat yang diinginkan dan sesuai preferensi gaya hidup serta perbandingan dengan beberapa tempat ideal lainnya 6 Dependen Material Memilih suatu tempat berdasarkan kemanfuan finansial, dan bergantung pada orang lain atau kesempatan yang ada. Sumber : Cross J, Department of Sociology Colorado State University (2001) Hubungan antar seseorang dalam memilih suatu tempat jadi menjadi faktor pertimbangkan dalam mencitakan tempat yang memiliki makna, sehingga ketertarikan orang dalam satu kawasan akan menjadi faktor utama dalam penciptaan suatu tempat. II.2.4 Komponen dan Indikator Pembentuk Placemaking Menurut Sack’s (1997) dalam Williams (2014,komponen pembentuk place, terdiri dari komponen meaning atau makna, social relations atau hubungan sosial dan nature (alam). Komponen placemaking juga dikemukan oleh Tuan (1974) dan Relph (1976) dalam Lengen (2012), dimana beberapa komponen placemaking, terdiri dari behavior, body, emotion, attention, perception, memory, orientation, sprirituality, meaning/value, culture and sociality. Adapun beberapa komponen ini dapat dilihat pada gambar II-9 berikut ini. 25 Gambar II.6 Komponen Placemaking (Sack’s, 1999 dan Tuan, 1974) Place yang dikemukan oleh Punter (1991) lebih menekan pada beberapa hal seperti: a. Acitvity (aktifitas) berupa peningkatan pada penggunaan lahan, alur pejalan kaki, prilaku, pola, bunyi dan bau serta sirlukasi kendaraan ; b. Physical Setting (pengaturan fisik) berupa wajah kota, bentuk terbangun, laskap dan ruang publik ; c. Meaning (makna) berupa legibilitas, asosiasi terhadap kebudayaan, persepsi terhadap fungsi, keterkaitan dan penilaian kualitatif. Sedangkan place yang dikemukan oleh Montogomery (1998) terdiri dari beberapa komponen berupa: a. Activity (aktifitas) berupa keragamana, vitalitas, kehidupan jalan, event dan tradisi lokal, dan kondisi ekonomi yang stabil ; b. Form (bentuk) berupa skala, intensitas, landmarks, ruang anatar bangunan dan area milik publik ; Social Relation Nature Materiality Place Komponen hubungan sosial merupakan interaksi antar kelompok / indvidu dalam ruang sedangkan alam merupakan bagain yang harus ditingkatkan dalam menciptakan bagian ruang yang lebih baik. a. Komponen Placemaking menurut Sack’s (1992) Place ƒBehaviour ƒEmotion ƒAttetion ƒPerception ƒMemory ƒOrientation ƒSpiritualy ƒMeaning ƒCulture b. Komponen Placemaking menurut Tuan (1974) and Relph (1976) 26 c. Image (karakter) berupa simbolisai dan ingatan, keterbacaan dan pembentuk image, pengalaman sensori, pengetahuan dan akses psikologi. Gambar II.7 Ilustrasi dalam Peningkatan sense of place Kawasan ( Jhon Punter, 1991 dan Jhon Montgomery, 1998) Project for public space (2003) memaparkan tentang bagaimana menciptakan suatu tempat yang baik dimana terdapat beberapa undur yang harus ditingkatkan, sepertihalnya yang dikemukana dalam) adalah sebagai berikut. Gambar II.8 Project for public space pada perancangan place (project for public space, 2003) Activity Form Image PLACE Activity SENSE OF PLACE Physical Setting Meaning What Makes A Great Place . Jhon Punter Jhon Montgomery 27 Place diciptakan dengan meeningkatankan fasilitas-fasilitas penunjang, dimana fasilitas ini dianggap sebagai suatu bagian yang mampu meingkatkan kualitas kawasan, diantaranya dengan menciptakan ruang yang nyaman dan aman, dan meningkatkan perekonomian masyarakat lokal. II.2.5 Placemaking dan Pengembangan Pariwisata Budaya Penerapam placemaking pada kawasan pariwisata budaya didasarkan pada elemen- elemen yang harus ditingkatkan pada pengembangana kawasan pariwisata budaya yang berhubungan dengan fasilitas penunjang, SDM, aktivitas dan kehidupan sosial budaya masyarakat seperti halnya yang dikemukan oleh Britton (1997) bereapa hal yang mampu meningkatkan kualitas pariwisata budaya sebagai berikut. 1. Bahasa (language) 2. Masyarakat (traditions) 3. Kerajinan Tangan (handicraft) 4. Makanan dan kebiasaan makan (foods and eating habits) 5.