Hasil Ringkasan
1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman budaya, hal ini terlihat dari banyaknya peninggalan warisan budaya yang ada di Indonesia, mulai dari kesenian, kearifan lokal, candi, istana dan bangunan bersejarah lainnya. Nilai warisan budaya dianggap penting bagi sejarah perkembangan kawasan perkotaan, dikarenakan dapat membentuk karakter dan identitas kawasan. Identitas terbangun oleh satu konteks hubungan kekuasaan, mengunakan bermacam material bangunan, sejarah, geografis, kepercayaan dan sosial-spasial (Neil, 2004). Keberadaan kawasan bersejarah juga dapat meningkatkan perekonomian dalam bidang pariwisata budaya (cultural tourism). Potensi bangunan bersejarah sebagai penggerak perekonomian perkotaan juga dihadapi pada beberapa permasalahan diantaranya bangunan bersejarah dianggap sebagai bangunan yang memiliki perawatan yang sulit dengan material yang beragam dan tidak dapat mengalami perubahan, sehingga membuat keberadaan bagunan bersejarah menjadi terancam dengan banyaknya perubahan bangunan yang cenderung mengurangi nilai estetika, salah satunya diakibatkan oleh keberadaan permukiman, seperti yang terjadi pada Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta merupakan kota yang kental akan unsur budaya, sehingga ditetapkan sebagai kota yang berhasil mempertahankan nilai budaya dan bangunan bersejarah oleh UNESCO pada tahun 2012. Gambaran kota bersejarah ini juga tidak terlepas dari keberadaan Kraton sebagai pusat kekuasaan yang memberikan orientasi dan membentuk wilayah yang terorganisir pencapaiannya. Kraton juga menjadi pusat kekuasaan yang mengawali perkembangan permukiman urban (W iryomartono, 1995). Sebagimana perkembangan permukiman pada Kawasan Tamansari yang terletak di Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton. Pada awalnya Tamansari merupakan pesanggrahan yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758 M, yang diperuntukan bagi tempat peristirahatan, rekreasi dan kegiatan spiritual. Tamansari 2 merupakan komplek bangunan bekas istana air dan ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya golongan A dalam RDTR Kota Yogyakarta Tahun 2015-2035. Pada sekitar bangunan Pesanggrahan Tamansari dahulunya merupakan area hijau berupa perkebunan dan permukiman bagi abdi dalem. Perkembangan permukiman ini berawal pada abad ke XIX, dengan status lahan yang digunakan bersifat ngidung atau magersari. Magersari merupakan hak sewa lahan yang diberikan oleh pihak sultan kepada abdi dalem atas pengabdiannya. Bentuk ruang magersari adalah membangun tempat bermukim mengelilingi sebuah pusat kekuasaan Kraton (Wiryomartono,1995). Masyarakat yang tinggal pada kawasan magersari disebut sebagai masyarakat magersari yang memiliki kewajiban untuk menaati perintah Kraton dan ketentuan sewa lahan pada serat kekancingan yang mengatur mengenai kepemilikan lahan dan ketentuan bangunan yang harus mengikuti aturan Kraton. Kebijakan magersari yang diberikan oleh pihak Kraton pada saat ini juga berlaku bagi masyarakat yang masih memiliki keturunan abdi dalem, dengan menunjukan silsilah keturunan dalam keluarga, sehingga membuat sewa lahan dengan status magersari semakin meningkat dan menyebabkan terjadinya perkembangan permukiman padat yang cenderung mengurangi estetika dan kelestarian Kawasan Pesanggrahan Tamansari, bahkan berdasarkan hasil penelitian Dipdikbud Dirjen Kebudayaan Tahun 1996 tentang studi teknis arkeologi situs tamansari tersisa 21 buah gugus bangunan dari yang pernah diinventarisir sebanyak 58 buah gugus. Peningakatan permukiman juga menyebabkan alih fungsi kepemilikian lahan dengan status magersari, dimana berdasarkan data Badan Pertanahan Kota Yogyakarta Tahun 2014, ± 50 % tanah pada Kawasan Pesanggrahan Tamansari memiliki serfitifikat tanah sah. Perkembangan Permukiman Magersari menjadi fenomena kawasan yang tidak dapat dihindari, namun dibalik tingginya pemanfaatan lahan, terdapat beberapa potensi yang berkembang berupa home industry, kerajinan batik dan wayang serta kegiatan perdagangan dan jasa, sehingga kawasan ini menjadi salah satu destinasi wisata, selain mengunjungi bangunan Pesanggrahan Tamansari. Keberadaan Permukiman Magersari belum sepenuhnya mendukung kegiatan pariwisata budaya, dikarenakan kawasan ini hanya dianggap sebagai kawasan penyangga yaitu 3 Permukiman Magersari hanya sebagai ruang persinggahan, dan jalur wisatawan menuju bangunan Pesanggrahan Tamansari.